Terlihat dari sudut rumah, ada seorang lelaki sedang asik memantulkan bola basketnya miliknya ke arah dinding batu. Seakan akan sedang bermain sendirian, padahal ia bersama orang lain. Lelaki itu tentunya tidak banyak bicara, namun jiwanya entah melayang kemana.
“Menurut lo mereka bakalan langgeng atau enggak?”
Lelaki itu—Willi—langsung menoleh ke arah sumber suara. Dahinya mengernyit kebingungan. Siapa yang menjadi topik pembicaraan mereka kali ini? perempuan yang sedang ia pikirkan atau—
“Ini soal Aiza,”
“Kenapa tiba-tiba banget?” tanya Willi yang masih saja memantulkan bola miliknya.
“Tiba-tiba kepikiran, soalnya udah beberapa kali gue sama yang lainnya liat Arsya pergi bareng cewe lain,”
“Emangnya iya? Sepupunya kali,”
Agas memperbaiki posisi duduknya. Lelaki itu tampak gerah karena Willi tidak percaya dengan omongannya. Sebetulnya, Willi percaya. Hanya saja, ia tidak ingin pikiran negatifnya terhadap Arsya semakin merajalela. Terlebih Arsya terlihat bucin ke pasangannya—Aiza.
“Nara sepupunya?”
Bola yang dipantulkan Willi jatuh begitu saja. Lelaki itu bergerak menghampiri Agas, karena merasa semua ini harus dibicarakan. Apalagi sudah beberapa waktu ini Aiza menjauh darinya sehingga ini adalah kesempatan untuk Willi agar ia bisa berbicara dengan perempuan kesayangannya itu.
“Hah, enggak deh kayaknya. Nara kan temen sekelas mereka,”
“Nah itu inti pembicaraan kita,”