Aiza melangkah pelan ke arah halaman sekolah yang mulai ramai dengan siswa-siswi. Hari ini turnamen basket tingkat provinsi akan dilaksanakan di sekolah mereka. Tenant-tenant makanan terlihat menggiurkan karena berjejeran satu sama lain. Tak lupa para pemilik tenant berteriak sahut-sahutan untuk memanggil pelanggan.
“Bingung banget mau beli apa,” keluh Janeta yang asik merangkul tubuh mungil milik Aiza.
“Dimsum aja dimsum—Nah atau beli soto aja kayaknya enak deh soalnya masih pagi,” seru Nindi. Perempuan itu sibuk memandang satu per satu tenant makanan yang ada di seberangnya.
“Ai, kalo kamu mau beli apa?”
“Iya nih, Ai. Semuanya enak-enak. Beli semuanya kali, ya?”
“Ai? Halo?”
Aiza spontan menoleh ke arah Nindi dan Janeta. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum kembali ke dunia nyata. Sebetulnya ia tidak melamun. Namun sudut matanya menangkap siluet yang tidak asing, dan sepertinya ia akan menunjukkannya kepada kedua sahabatnya itu.
“Ngeliat apa sih?” tanya Nindi kebingungan.
Jari telunjuk Aiza mengarah ke salah satu tenant yang ada di seberang mereka. Mati-matian Nindi dan Janeta menyipitkan mata untuk melihat apa yang ada di seberang sana. Dan siluet yang mereka lihat berhasil membuat kedua insan tersebut saling melempar pandangan satu sama lain.
Mereka tidak salah lihat, bukan?
“Nara sama Arsya, bukan?”
“Hah? Kok gandengan?”
“Dih, kelakuan kayak setan,” umpat Janeta pelan.
Nindi menoleh ke arah Aiza yang masih diam tak bergeming. “Kalian masih pacaran kan, Ai?”
“Lah iya dong! Udah mau jalan 8 bulan ya kali putus,” dumel Janeta yang masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.
“Ai? Ngomong dong! Jangan diem kayak gini,” Nindi menepuk pelan bahu sahabatnya itu tapi tetap saja tidak ada reaksi seperti yang mereka inginkan.
“Aku harus apa? Lagi pula mereka pulang bareng hampir setiap hari dengan alasan ngerjain tugas—Herannya aku masih percaya,”
Ternyata, feeling seorang perempuan tidak pernah salah, seolah ia dianugerahi intuisi yang lebih tajam dari sekadar logika, mampu membaca tanda-tanda yang tak kasatmata.
“Kita ke kelas, ya,”
Janeta dan Nindi langsung merangkul sahabatnya itu dari sisi masing-masing. Mereka tidak melanjutkan pembicaraan perihal Arsya dan selingkuhannya itu, namun bisa dilihat kalau air mata Aiza mulai tumpah. Hanya saja ia masih diam tak bergeming karena bingung dengan apa yang terjadi saat ini.