Artemis

Dyah Ayu Anggara
Chapter #2

Affluenza

Acuh.

Itu lah yang di rasakan sepasang saudara tiri yang sedang duduk bersebelahan di sofa ruang keluarga. Kyle tampak mati-matian menahan tangannya agar tidak mengambil ponselnya yang terus bergetar di dalam saku jeans. Sementara Artemis terus-menerus memandangi jam dinding yang berdetak setiap detiknya. 

Robert menangkap ekspresi masam anak perempuannya "nggak perlu sok lihat jam, kamu kan langganan telat di ruang OSIS" 

Bukan itu masalahnya! gerutu Artemis dalam hati. Ia membuang wajah agar kecurigaan ayahnya tidak semakin membesar. 

"Ada hal yang harus papa urus di Palembang, sekalian jemput mama kalian, jadi ..."

"Mama Kyle," sela Artemis sinis, yang langsung di balas dengan tatapan tajam Robert dan jawaban sarkas adik tirinya, "gue juga nggak sudi mama gue mengasuh anak songong kayak lo!"

Sudut bibir Artemis tertarik sedikit. 'Songong' ya? Semua orang tau kalau Rachel dan Kyle-lah orang-orang yang telah lancang memasuki keharmonisan keluarganya. Dasar orang-orang nggak tau diri, seperti itulah ucapan yang di lontarkan orang-orang di luar sana. Tetapi ayahnya, Robert De Rucci, berbekal nama belakang dan finansial yang di dapatnya sejak kecil, mampu melindungi 'keluarga baru' nya itu. 

"Papa sudah lelah, kalian sudah dewasa, papa rasa kalian seharusnya sudah tau bagaimana bersikap dengan baik"

Hanya decihan dan cibiran yang di dapat Robert sebagai jawaban. Hal itu ia wajarkan, karena sejak kecil, mental dan fisik keturunannya sudah ia renggut. Jadi keuntungan mereka dapatkan saat sudah dewasa. Lakukan apa saja asal tidak menguak 'rahasia besar' di balik De Rucci. Like he did exactly when Richard took him. 

"New mansion? Palembang?" kening Kyle berkerut heran. Sejak kecil dirinya belum pernah menjejak pulau lain, selain Jawa dan Papua. "sepertinya lebih bagus kalau Kyle ikut," celetuk Artemis dengan seringai jenaka-nya seperti biasa "supaya dia 'sedikit' lebih ingat tentang kota kelahirannya dan ibunya". Kyle menatap Robert dan Artemis bergantian. Dari ekspresi sang ayah, beliau mengancam Artemis terlihat dari urat di dahinya dan tatapan matanya yang menusuk. Sejenak Kyle sempat berpikir untuk membatalkan 'minggu penuh kasih sayang' bersama Gaia, jauh di dalam lubuk hatinya, ia sangat ingin melihat suasana kota yang tercatat sebagai tempat kelahiran dan masa kecil nya berlangsung. 

But a negative side always be a part of him. 

Nggak, gue nggak boleh terpengaruh! Ini pasti cuma akal-akalan Artemis supaya dia bisa melakukan apa saja selagi gue nggak berada di rumah, modus ke kakek misalnya, Kyle melirik Artemis yang sedang menggulung-gulung roti lalu melemparkannya ke udara sebelum masuk ke dalam mulutnya yang menganga lebar , layaknya melempar kacang. Sementara Robert sudah pergi setelah berpamitan sekali lagi dan menyusul sekretaris nya yang sudah menunggu di depan rumah. 

Kyle bangkit dari sofa sambil buru-buru membalas pesan dari Gaia. Dirinya baru saja akan keluar dari ruang keluarga kalau suara Artemis tidak terdengar, 

"Gue nggak sepicik itu, menghasut anggota keluarga untuk memihak gue sebagai pewaris utama," Artemis menoleh dan tersenyum melihat wajah Kyle yang kaget karena mendengar ucapan kakaknya yang tidak meleset dari apa yang ia pikirkan. Artemis mengambil langkah santai menghampiri Kyle "Meski Eli udah mengundurkan diri, masih ada Hera, dan mungkin lo akan bosan dengar kalimat yang selalu lo anggap bullshit ini," 

Di tepuknya pundak Kyle, ucapan Artemis terdengar seperti yang sudah-sudah, namun tidak tampak seringai pongah yang melekat pada dirinya, "I just need De Rucci to cover 'me',"

Kyle menatap punggung Artemis yang menghilang di pintu utama. Alasan Artemis bertahan bukan karena harta, melainkan apa yang sudah di perbuatnya sejak kecil, yang menjadi titik terlemah bagi De Rucci. 

***

Hujan. 

Kassandra berdecak setelah mengalihkan pandangan dari jendela kelas yang penuh dengan butir-butir air hujan. Sejak berangkat sekolah tadi, hujan sudah turun dengan derasnya, untungnya Artemis tidak ada di rumahnya sejak tadi pagi. Kalau ada, cewek itu pasti sudah menertawakannya karena kalah taruhan. 

Tetapi hal itu juga mengundang pertanyaan bagi Kassandra. Apa Artemis pulang ke rumahnya? Kassandra saja bangun tidur sekitar jam set enam, masa iya Artemis pulang saat subuh? Bukan hanya itu, bahkan di rumahnya sekarang ada pelayan-pelayan baru beserta sopir yang mengantarnya ke sekolah. Hal-hal itu terlalu mewah untuk Kassandra, biasanya dia di antar ke sekolah bersama pamannya dan ayahnya, kemudian ibu dan kakaknya lah yang akan mengurus pekerjaan rumah, mengingat kakak nya bekerja sebagai penerjemah dan novelis. 

Keadaan rumah nya memiliki perbedaan yang sangat kentara. Pelayan-pelayan beserta anak-anak buah Artemis memang memenuhi rumah, tapi mereka semua dingin. Tidak ada lagi kehangatan dan rasa bahagia yang melingkupi tempat tinggalnya itu. Sunyi dan di penuhi aturan. Kassandra jadi jengkel sendiri mengingat bagaimana salah satu rekan Artemis mengajarinya table manner saat sarapan tadi. 

Siapa namanya?

Eris?

Penilaian Kassandra akan Artemis-dan-lain-lain terhenti saat terdengar bel pergantian mata pelajaran. Seni Budaya. Suara guru yang mengajar terdengar dari interkom yang di pasang di setiap kelas. Menyuruh murid-murid kelasnya untuk melukis dengan objek yang ada di sekolah. 

Setelah mengambil peralatan lukis nya, Kassandra berjalan dengan lesu. Ia sama sekali tidak berniat untuk sekolah hari ini kalau saja si Ares itu tidak memaksanya atas perintah Artemis. 

"Mau kemana keys?"

Kassandra memalingkan wajah ke pintu kelas XI IPA1 yang baru saja di lewatinya. Tampak kakak kelas yang di kenalnya di ekskul badminton menyembulkan kepala nya dari celah pintu kelas. Ethan.  

"Seni budaya, lukis objek di sekolah,"

"lukis taplak meja kelas kita aja!" usul Ethan menggebu-gebu "hasil eksperimen Xian!"

"nanti kalau guru datang, gimana?"

Ethan menggeleng lalu menghampiri Kassandra dan menarik tangan cewek itu masuk ke kelas nya "guru nya nggak masuk, sakit katanya". Kassandra yang baru masuk langsung di sambut heboh oleh teman-teman sekelas Ethan. Cewek itu jadi malu sendiri, apalagi saat Ethan mempersilakannya duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Xian yang sedang menunjukkan taplak meja buatannya. 

"Aduh terhura! karya gue bakal masuk MURI!" Xian berucap lebay. Kassandra sendiri mulai melukis dan sesekali membalas sorakan-sorakan kakak-kakak kelas nya dengan tawa dan jawaban singkat. Kalau di lihat-lihat, taplak itu memang buruk sekali, berwarna khaki yang kemudian di padupadankan dengan corak-corak kekuningan. Satu-satunya hal yang menarik dari taplak itu hanyalah lambang 'B' yang terdapat di tengah-tengah taplak meja. Bentuk lambang itu unik dan indah dengan ukiran di sekelilingnya serta elemen-elemen floral yang beberapa ukiran nya itu. 

"Ngomong-ngomong, lo udah tau belum arti lambang ini apa?" Xian tiba-tiba bertanya pada Kassandra di tengah ramainya suasana kelas, ada yang mengobrol, bermain gitar, sampai ada yang tidur. 

"nggak tau kak," jawab Kassandra jujur. 

"Balmain, komplotan mafia yang hilang di telan bumi," 

Goresan pensil Kassandra terhenti. Kata 'mafia' terlalu sensitif untuknya. Ia hanya tertawa kaku saat mendengar Ethan yang duduk di sampingnya mulai menimpali informasi murahan Xian. "oh man, lo kebanyakan nonton konspirasi,"

"heh! di konspirasi ini tuh banyak banget hal-hal janggal yang menarik buat di analisis!"

"Nah!" Ethan menunjuk wajah Xian dengan jari nya "hal-hal janggal yang nggak bisa dibuktiin dengan fakta itu yang timbul adanya mitos! ah udahlah! Keys, lo lanjut lukis aja, nggak usah di dengerin si punuk onta"

"Yeee, otak gue mah emang encer kayak punuk, daripada lo? kayak tempe, bulukan! keys! kalau lo mau tau soal Balmain, cari aja konspirasi nya di youtube! Mereka kelompok mafia yang membunuh untuk membela masyarakat miskin,"

Kassandra hanya mengangguk singkat, mengabaikan Ethan dan Xian yang kembali berdebat opini. Sebenarnya ia sedikit tertarik dengan informasi dari Xian. Hanya saja, 'Balmain' yang di katakan kakak kelasnya itu masih abu-abu, mungkin kalau ada berita kemunculan mafia berhati mulia, entah Balmain atau siapa pun itu, Kassandra akan senang hati menghampirinya dan meminta bantuan. Untuk apa? tentu saja untuk melawan De Rucci yang mengurung dirinya di dalam lingkaran perjanjian yang bahkan tidak ia ketahui isinya. 

"Kassandra Wirjadinata?"

 Kegiatan melukis Kassandra terhenti, ia tersenyum kaku pada guru keseniannya, Ms. Moniq, yang sudah berdiri di ambang pintu kelas XI IPA1. "Sandra, ada yang menjemput kamu untuk urusan keluarga, dan KALIAN! IPA1! APA SUDAH MENGERJAKAN TUGAS YANG DI BERIKAN?"

Kassandra berusaha menahan tawa saat melihat Ethan dan Xian yang cepat-cepat kembali ke tempat duduknya begitu juga dengan anak-anak lain. "langsung ke ruang kepala sekolah ya," ujar Ms. Moniq saat Kassandra berada di depannya. Saat Kassandra keluar, ia bisa mendengar suara Ms. Moniq yang menggelegar di ruangan kelas IPA1. 

***

Rupanya Eris yang datang, dan entah bagaimana cara perempuan itu dapat meyakinkan bahwa ia sepupu Kassandra dan meminta izin agar Kassandra pulang lebih cepat.

Dan selama di perjalanan setelah meninggalkan kawasan sekolah Kassandra.

"Gue mau di bawa kemana?" Kassandra memecah suasana canggung di dalam mobil. Eris yang sedang menyetir melirik Kassandra sekilas sebelum menjawab "tempat istirahat keluarga lo"

"Apa?! Kenapa nggak di bicarakan dulu?!" Kassandra berdecak kesal dengan Artemis yang terlalu mencampuri kehidupannya "secara turun temurun keluarga gue itu di makamkan di Bogor!"

"BERISIK!"

Lihat selengkapnya