Keesokan harinya, Kassandra mendadak terbangun dari tidurnya. Bisa di bilang tidurnya sama sekali tidak terasa nyenyak. Ia memimpikan sebuah pulau dan pasir putih yang timbul di permukaan pantai, yang menghubungkan tempat berdirinya dan pulau itu. Langit yang biru menyatu dengan beningnya air laut di mimpinya. Indah, tetapi ia merasa takut untuk berjalan menghampiri pulau itu.
Terhitung puluhan kali Kassandra mengubah posisi tidurnya, namun kedua matanya sulit terpejam. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari kamar dan mencari minum di dapur.
Dan hal pertama yang di dapatinya saat sampai di dapur, adalah 'Curse League' minus Sissy. Mereka seperti sedang membicarakan perihal serius karena si kembar yang tadinya asik berceloteh pada Artemis, langsung menutup mulut begitu melihat kedatangan Kassandra.
"Nggak bisa tidur?" Artemis bertanya dingin tanpa perlu repot-repot menoleh padanya. Berbanding dengan teman-temannya yang terang-terangan menatap Kassandra dengan pandangan-pendangan yang sulit di artikan. "Kebangun" jawab Kassandra seraya membuka lemari pendingin dan mengambil sekotak susu lalu melangkah lebar menuju tangga. Sebelum sampai di lantai dua, ia masih bisa mendengar suara memerintah dari mulut Artemis "Hari ini biar gue aja yang ke sana, kalian nggak usah ikut" yang kemudian di jawab cepat oleh Kyle dan Eris.
"Mentang-mentang gue cuma saudara tiri...!" Kyle berseru tidak terima.
"Gue nggak mau jadi babysitter tuh cewek!" tolak Eris dengan suara kencang, mungkin memang sengaja, supaya Kassandra mendengarnya.
Sesampainya di kamar Kassandra membanting tubuhnya di atas kasur, menyalakan TV di kamarnya dan mulai meminum susu kotaknya. "Gue juga nggak butuh kalian!" dengus Kassandra. Sebenarnya ia juga tidak habis pikir dengan dirinya. Artemis, Kyle, Eris, Gaia, dan juga Yazcha, Yazcho pengecualian karena dia tidak ada di tempat kejadian terbunuhnya keluarga Wirjadinata. Orang-orang itu terlibat dalam pembunuhan keluarganya, tapi kenapa ia mudah sekali menerima dan percaya pada orang-orang yang membuat hidupnya menderita. Mereka juga jelas-jelas membencinya, Kyle dan Eris. Kalau si kembar, Sissy, dan Gege, Kassandra tidak ambil pusing karena ia memang tidak terlalu dekat dengan keempat nya. Ia justru berharap Eli dan Henry menginap selamanya di rumah nya, hanya mereka yang bisa ia jadikan teman bicara yang sebenarnya.
Dibiarkannya tayangan TV berjalan seiring pikirannya yang semakin menjelajah. Wajar kalau ia menerima dan mempercayai Kyle dan Eris, ia harus percaya pada keduanya. Karena dua orang itu yang selalu menuruti perintah mutlak Artemis untuk menjaganya. Meski Eris pernah nyaris mencekiknya sampai kehabisan nafas, cewek itu tidak berbuat lebih, tapi sorot mata dan cara bicaranya pada Kassandra, menyiratkan kecurigaan sekaligus peringatan. Tapi Eris adalah counselor yang amat di percayai Artemis, ia selalu berkata fakta dan setia pada De Rucci. Dan Kyle, adik tiri yang memiliki rasa sayang sedikit pada kedua kakak kembarnya, kalau boleh jujur Kassandra sangat terusik dengan lirikan dan decihan dari mulut Kyle setiap kali Artemis mencurahkan perhatian padanya. Terlihat jelas Kyle iri dan menyimpan dendam di balik netra nya, tapi apa yang membuatnya iri dari Kassandra? Tidak mungkin karena perhatian Artemis padanya, cowok itu kan benci Artemis.
Kotak susu itu di letakkan di atas nakas lalu Kassandra semakin menenggelamkan tubuhnya di antara bantal-bantal dan selimut. Di keheningan itu, pintu kamarnya tiba-tiba menjeblak terbuka lebar. Kassandra terperanjat sampai terduduk di kasurnya. Ia menggeram tertahan melihat Artemis yang melenggang masuk dengan cengiran khas nya.
"gue nggak bisa baca cerita tidur malam ini," setelah melihat sekilas jam dinding yang menunjukkan tepat tengah malam, Artemis melempar sebuah novel kecil yang langsung di tangkup kedua tangan Kassandra. "Baca sendiri"
"Gue nggak butuh cerita buat tidur" Bohong. Kassandra sangat nyaman mendengar cerita Artemis setiap ia akan tidur. Selain karena suara cewek itu menenangkan, Kassandra juga nggak suka membaca buku.
"Itu perintah bukan tawaran," kedua tangan Artemis bersedekap di depan dada nya, kedua matanya memicing ke arah Kassandra "baca sampai habis"
Selalu begini. Artemis terlihat perhatian awalnya. Dan kurang dari lima menit, cewek itu mampu membuatnya kesal. Kesal yang sia-sia, karena Kassandra menurut untuk membaca novel yang berjudul 'And Then There Were None'. Artemis keluar sehabis melempar senyum miringnya yang menyebalkan tapi membekas di benak itu.
Masih dengan TV yang menyala Kassandra membuka lembar demi lembar novel itu dan membacanya. Perhatiannya sedikit terganggu saat mendengar deru mobil yang semakin kecil terdengar. Artemis sudah pergi. Dan sialnya, novel yang tengah dibacanya mengandung cerita misteri dan pembunuhan. Dulu ia memang suka genre cerita itu, tapi setelah mengalaminya secara langsung, rasanya begitu nyata!
Darah menggenangi tubuh-tubuh ayah, ibu, dan kakaknya.
Para bawahan De Rucci.
Terakhir, suara tembakan yang mematikan kesadarannya saat itu.
Kemudian muncul Artemis. Segala bujukan dan ceritanya, semakin membuat Kassandra nggak bisa lepas. Meski telinga dan matanya menyaksikan secara langsung bagaimana gilanya Artemis membuat Leo, orang yang jauh lebih unggul secara fisik dari cewek itu, tumbang hanya dengan sekali pukulan. Tawa ceria. Aura kelam. Layaknya novel misteri, menakutkan dan menarik rasa penasaran yang besar. Tangan Kassandra terangkat menyentuh tato di lehernya dimana matanya masih melekat pada sajak 'Sepuluh Anak Negro' yang tertulis di novel itu.
Air mata mengalir dari kedua netra nya. Kassandra membanting novel yang baru di bacanya. Ditenggelamkan wajahnya di atas bantalnya. Suara TV yang menyala, jarum jam yang berdetak, serta deru pendingin ruang kamarnya. Tidak lagi terdengar. Hanya debar jantung dan isak tangis yang memenuhi pendengaran Kassandra. Berkali-kali ia memukul dada nya, guna menghilangkan kerinduan yang tidak wajar. Cemburu yang tidak semestinya!
"JANGAN PILIH DIA!!! JANGAN...DIA!!!"
Mulutnya terus meracau. Mengeluarkan segala unek-unek di hati nya. Artemis nggak boleh memperhatikan orang lain! Artemis terlibat, cewek itu turut andil menjadi penyebab dirinya sebatang kara!
"Dia siapa yang lo maksud?"
Suara isakan Kassandra mereda. Suara Gaia terdengar lembut dan membuat ketakutannya perlahan sirna. Tangan Gaia juga mengusap lembut pundak dan lengannya. "Mona?" tebakan Gaia tidak meleset. Dan kediaman Kassandra menjelaskan semuanya. Gaia tersenyum hangat walaupun Kassandra masih setia membenamkan wajah dan tidak membalas tatapannya "Percayalah san, Art nggak pernah lagi menganggap Mona ada, Henry udah cerita sama lo kan,"
Akhirnya Kassandra mengangkat wajahnya. Sembap dan menyedihkan. Gaia sampai meringis kasihan pada cewek di hadapannya. "gue straight, gue...cuma asal ngomong tadi,"
"Lo mau bersahabat dengan Art?" pertanyaan itu tidak langsung dijawab Kassandra. Sahabat? Perlahan dan ragu-ragu Kassandra menganggukan kepala, mengiyakan. Meski hati nya malah semakin terasa kusut.
***
Dua hari.
Hari ini genap dua hari setelah kepergian Artemis. Batang hidung cewek itu tidak pernah tampak. Kassandra sudah selesai membaca novel pemberian Artemis, dan perasaan mencekam setelah membacanya tidak pernah hilang sampai sekarang.
Hampir setiap harinya, Kassandra bertanya 'dimana Artemis?' pada teman-teman dan saudara cewek itu. Informasi yang di dapat dari mereka berbeda-beda dan Kassandra bingung harus yakin pada jawaban yang mana.
"Dia pasti lagi dikasih tugas sama ayahnya" Gaia menjawab setelah menerangkan posisi penting Artemis di antara saudara-saudaranya, yang kemudian ditimpali dengan cemoohan dari adik tiri Artemis "Lo bukan siapa-siapa buat Art" dan Kassandra nggak akan pernah bisa lupa pandangan 'merendahkan dirinya' dari Kyle. Jawaban Eris tak kalah menjengkelkannya dengan jawaban Kyle, "Apa peduli lo?".
Jawaban si kembar sedikit membantunya untuk tenang dan menanti-nanti "Dia lagi liburan sama Eli dan mama nya," Yazcha berucap dengan nada menenangkan tapi lagi-lagi meragukan karena setelahnya Yazcho malah menambahkan "Art selalu nggak enakan buat ikut liburan sama keluarga Henry, dia kan lagi tugas sama Hera!" dan berakhir dengan keduanya yang berdebat tanpa akhir.
Keesokan harinya, Kassandra kembali berangkat dengan kelesuan yang terpancar jelas di wajahnya. Tidak ada yang membuatnya nyaman di sekolah. Di awasi para De Rucci, kurikulum pembelajaran yang 80% secara internasional, serta sulitnya menjalin pertemanan di sekolah itu. Kassandra hanya merasa benar-benar memiliki teman saat sedang kerja kelompok atau ditanyai tugas oleh teman-teman sekelasnya. Dia benar-benar sendiri. Siapa yang bisa melepasnya dari ketergantungan dirinya akan perlindungan dan kasih sayang Artemis yang nggak wajar?
"Keys!!"
Kassandra terperanjat dan menoleh ke belakang dengan antusias. Seketika ia kecewa. Orang yang memanggilnya bukan orang yang dicarinya. Tapi rasa terkejut tidak luntur dari wajahnya.
"Ethan?!"
***
Jimbaran, Denpasar, Bali. 20:17 WITA. Day 4.
Jari-jari Artemis mengetik keyboard laptopnya dengan santai. Sebentar lagi tugas-tugas sekolah pada minggu ini akan selesai. Dan Artemis sama sekali tidak terganggu dengan suara nafas yang putus-putus. Yang berasal dari pintu kecil yang bersebelahan dengan rak buku nya.
Artemis menghembuskan nafas kasar sambil menekan 'enter' sebelum tugasnya terkirim ke email guru nya "benar juga kata Eli," Artemis melangkah tenang lalu memutar kenop pintu kecil tanpa berniat menuruni tangga yang membawanya lebih masuk ke dalam ruangan dengan minimnya pencahayaan itu. "Harusnya gue pasang dinding kedap suara" Artemis menyeringai pada seonggok manusia yang menatapnya dengan kedua air mata yang membasahi seluruh wajahnya. Ketika nyawa nya semakin merenggang, orang itu justru semakin merangkak menaiki tangga, menuju ke tempat berdirinya Artemis.
"A-art---"
Dalam hati Artemis memuji kegigihan cewek itu. Senyum Artemis semakin melebar dan sebulir air mata jatuh melintasi pipinya kala melihat tubuh Mona langsung tergeletak tak berdaya di kedua kaki nya. "orang jahat kayak lo nggak pantas lahir sebagai perempuan," Artemis menendang kepala Mona hingga tubuh dingin itu berguling dan terhempas keras di lantai kayu ruangan itu. Artemis membanting pintu itu lalu duduk bersandar pada rak buku nya. "JANGAN NANGIS! JANGAN!!" Artemis mengusap kasar air mata yang terus merebak. Tangannya yang gemetar merogoh ponselnya dari saku celana training nya. Satu-satunya penghiburnya hanyalah informasi terbaru dari Eris tentang Kassandra yang terus menanyakannya.
Tapi tidak kali ini.
Rasa sesak di dadanya semakin berlimpah saat melihat foto-foto yang dikirimkan Eris padanya.
Kassandra tampak memunggungi sorot kamera. Tapi wajah laki-laki yang sedang mengusak rambut cewek itu terlihat jelas. Tak lama muncul pesan dari Eris yang sedikit mengecohkan rasa benci Artemis.
Eris
If you hate him, you're L. If you hate her, you're straight
Artemis langsung tertawa keras melihat pesan yang menurutnya konyol itu. Ia beralih ke kontak di ponselnya lalu menekan salah satu nama lalu menempelkan ponselnya di telinga. Berselang kurang dari lima detik, terdengar suara kembarannya di seberang
"ada apa, Art?"
Artemis mati-matian menahan tangisnya yang masih jelas terdengar sesenggukan. Bahkan di seberang Eli sudah bertubi-tubi menanyakan keadaannya, apa yang dia lakukan, dan dimana ia sekarang. Setelah berhasil sedikit menguasai dirinya, Artemis menjawab, "gue--nggak--baik, Mona---Denpasar---"
"DENPASAR?? BALI?!" terdengar erangan kesal di seberang dan suara-suara kecil yang bertanya-tanya.