"Hiks! Art~"
Artemis yang sedang membaca buku bersama Eli di taman sekolah menoleh. Tampak teman kecilnya menangis sembari menutup kedua matanya. Artemis langsung meninggalkan bukunya dan menghampiri gadis kecil yang masih saja menangis itu. Sedangkan Eli hanya memandangi mereka dari jarak kurang dari dua meter.
"Mona! Kenapa kamu nangis?!" Artemis mengguncang kedua bahu Mona, gadis kecil dengan rambut hitam sebahu dan pipi chubby yang memerah karena menangis terlalu lama. "Aku di dorong sama anak-anak---di lap---angan---" jawab Mona sesenggukan.
"Apa?!"
"A--aku ng--nggak bisa main---bola---"
Tanpa menunggu kelanjutan Mona, Artemis langsung melangkah lebar-lebar meninggalkan taman. Eli menutup bukunya dan juga buku Artemis, anak laki-laki itu melangkah ke arah Mona yang tersenyum di tengah isakannya.
"Aku yakin mereka nggak mendorong kamu," Eli berucap dingin yang hanya dibalas dengan cengiran nakal Mona, "Memang enggak," Mona terkikik lalu berujar riang, "Ayo, kita lihat Art hukum mereka!"
Eli meremas genggamannya pada buku-buku yang dibawanya. Anak laki-laki itu melangkah menyusul Mona yang sudah berlari lebih dulu menuju lapangan. Sesampainya mereka di lapangan, Eli melihat Mona yang tengah menahan Artemis. Sementara Artemis dengan lembut menyuruh Mona menonton saja. Dan dengan 'polos' Mona menurut, duduk di salah satu tribun yang kursinya terbuat dari batu. Eli melewati tempat duduk Mona, dia lebih memilih duduk di kursi yang beda tiga baris di atas kursi Mona.
"Eris," Eli memanggil Eris yang sedang meminum susu kotaknya dengan arah pandang yang tak putus dari apa yang terjadi di lapangan. "Hm?" jawabnya singkat. "Kamu sejak kapan duduk di sini?"
"Sejak Mona main dodge ball sama anak-anak kelas kita,"
"Mona bisa main dodge ball?"
"Tentu saja tidak," jawab Eris cepat lalu menghabiskan susunya dan melemparnya ke tampat sampah yang tak jauh dari tempatnya. "Terus Mona di dorong mereka karena nggak bisa main?"
"Hanya di usir," Eris masih menjawab dengan suaranya yang tenang seperti danau. Eli mendengus keras, Mona membohongi Artemis. "Pasti dia ngadu yang aneh-aneh sama Art," tebak Eris. Eli mengangguk mengiyakan tebakan temannya. Keduanya meringis melihat bagaimana kencangnya Artemis melempar bola pada setiap anak yang lewat di dekatnya. Peraturan dodge ball adalah melempar bola agar mengenai anggota lawannya, bila kena maka anggota tim itu semakin berkurang, begitu terus sampai salah satu tim kehabisan anggota.
"Berapa lawan berapa?" tanya Eli lagi. "Satu lawan sepuluh,"
Kedua mata Eli membulat, "Artemis lawan mereka semua?"
"Semoga aja nggak ada yang cedera," gumam Eris. Baru saja Eris mengatakan hal itu, bola yang Artemis lempar menghantam kencang kepala seorang anak laki-laki sampai anak itu terjatuh. Dan Artemis hanya tertawa kencang sambil berkata, "pusing ya?" anak laki-laki itu mengangguk dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. Senyum lebar Artemis langsung lenyap digantikan kedua sorot mata yang menatap anak laki-laki itu tajam, "Masih beruntung kepala kamu nggak kupotong!"
Sontak semua anak-anak di lapangaan terdiam. Anak laki-laki tadi langsung menangis, beberapa anak ada yang membawa anak laki-laki itu pergi, ada juga yang mengadu pada wali kelas tentang perkataan Artemis tadi. Sedangkan Artemis meghampiri Mona yang langsung memeluknya, keduanya tertawa bersama.
"Art! ayo, main basket!"
"Ok!"
Dan pada akhirnya kedua anak perempuan itu saling melempar bola ke ring basket bergantian.
"Mona harus menjauh dari Art," Eli berucap dengan bersungguh-sungguh. Eris mencibir perkataan Eli, "Gimana caranya kamu aja mau pindah sekolah," "Kan ada kamu!"
Eris tidak menjawab perkataan Eli. Dia hanya menatap sendu Artemis dan Mona yang saling tertawa bersama.
Seminggu kemudian, Eli benar-benar pindah sekolah, anak laki-laki itu memilih ikut dengan Vanya yang baru saja selesai mengurus surat perceraiannya dengan Robert.
Semenjak kepergian Eli, Eris yang sekarang menjadi teman sebangku Artemis. Eris sengaja mematikan suara musik di iPod-nya. Pagi-pagi Mona sudah mengadu pada Artemis kalau Belvi mengejek freckles di pipi Mona adalah noda kotor. Kening Eris mengernyit, kapan Belvi mengejeknya? kedua mata Eris mengangkap sosok Belvi yang sedang menyalin tugas. Dan tak lama terdengar lagi suara manja Mona
"Dia juga ambil paksa PR bahasa inggrisku!"
Artemis tersenyum lembut menenangkan gadis yang lebih kecil darinya itu "Kamu lihat aja nanti ya waktu pelajaran bahasa inggris,"
Eris memutar bola mata malas lalu melangkah keluar kelas. Drama Mona kembali dimulai, pikirnya. Eris baru saja akan memutar kembali musiknya saat tiba-tiba Belvi keluar kelas bersama seorang temannya, Eris kembali mematikan musik di iPod-nya. Meski sudah agak jauh di depannya, Eris masih bisa mendengar suara Belvi pada Salsa
"Mona nyebelin banget! kalau aja dia nggak berteman sama Art, aku juga nggak mau ngerjain PR dia!"
Dan pada saat pelajaran bahasa inggris, anak-anak maju ke depan satu per satu untuk mengumpulkan tugas mereka. Eris yang membawa tugasnya di belakang Artemis mendengar sahabatnya itu berbisik pada guru bahasa inggris tentang Belvi yang menyalin PR Mona. Jantung Eris berdegup kencang, apa dia harus menyangkal ucapan Artemis pada bu guru? Eris tidak sempat memutuskan karena saat tangannya meletakkan tugasnya di atas meja guru, suara guru bahasa inggrisnya memenuhi seisi ruang kelas
"BELVI! APA BENAR KAMU MENYALIN TUGAS MONA?!"
Eris melirik wajah terkejut Belvi, mulutnya sempat terbuka hendak melayangkan protes tapi terpotong dengan suara isak tangis Mona. Belvi tak sempat menjawab apa-apa, sebagian teman-teman sekelasnya itu hanya menunduk takut dan sebagian tidak tahu-menahu mengenai hal itu. Arah mata Eris beralih pada Artemis. Dan benar saja, sahabatnya itu tengan menebar tatapan mematikannya pada seisi kelas seolah berkata, 'Jangan ada yang membela Belvi atau kalian habis!'
Lagi-lagi Eris tidak sanggup berbuat apa-apa. Hatinya memanas melihat senyum Mona di balik kedua tangan anak perempuan itu yang menutupi kedua matanya. Saat jam istirahat, anak-anak berhamburan keluar kelas. Eris melakukan hal yang sama, tapi langkah terhenti saat suara Artemis terdengar. Saat membalik tubuhnya, Eris baru sadar, di kelas itu hanya ada dirinya, Artemis, Mona, dan Belvi.
"Eris, tutup dan jaga pintu kelas!" ujar Artemis. Eris mengangguk kaku. Sedetik kemudian, kedua mata Eris membola tidak percaya. Artemis menahan tubuh Belvi agar tengkurap di atas meja kelas. Sementara Mona dengan tawa kekanakannya mencoret bagian punggung seragam Belvi dengan spidol. Belvi terus berteriak-teriak dan meronta, tapi jelas saja semua itu sia-sia, fisik Artemis jauh lebih kuat darinya.
"Diam, bodoh! Nanti Mona jadi susah nulisnya!" bentak Artemis. Seketika Belvi langsung terdiam. Setelah Mona selesai menulis, Artemis berkata penuh penekanan di samping telinga Belvi, "Sampai kamu mengadu, akan aku suruh kakek buyutku ngeluarin kamu dari sekolah!" mendengar hal itu Belvi langsung berlari keluar kelas dan menangis.
"Art! Jajan di kantin, yuk!"
"Kamu duluan ya!"
Mona mengangguk dan pergi keluar kelas melewati Eris. Artemis yang masih berdiri di depan Eris menepuk ringan pundak anak perempuan itu, "aku senang banget punya sahabat kayak kamu Eris," Artemis tersenyum tulus. Senyum itu menular pada sang sahabat yang menjawab dengan kedua pipi merona senang, "aku juga suka bersahabat sama Art,"
"Ayo ikut ke kantin!"
Eris menggeleng, ia tidak mau berada di tempat yang sama dengan Mona. Artemis mengernyit bingung melihat jawaban Eris.
"Aku mau baca di perpustakaan," ujar Eris. Raut bingung Artemis langsung memudar berganti dengan aura cerah, "ayo!"
"Tapi, Mona?"
"Sahabat itu nomor satu!" Artemis langsung menggadeng tangan Eris meninggalkan kelas. Selama mereka berjalan beriringan menuju perpustakaan, tatapan Eris tak lepas dari tangan Artemis yang menggenggam tangannya. Dalam hati, Eris melantunkan kata-kata Artemis berulang kali.
***
Eris yang baru saja menyelesaikan tugas rumah di ruang keluarga De Rucci, mendongakkan kepala saat mendengar langkah-langkah kaki yang menuruni tangga. Vanya baru saja menuruni tangga bersama Eli dan anak tirinya yang manis, Henry.
Melihat kedatangan beliau, Eris langsung berdiri dan bertanya sopan pada Vanya, "Gimana keadaan Art, tante?" Vanya megelus puncak kepala Eris "Dia masih shock karena melihat 'itu' secara langsung,"
Yang dimaksud 'itu' adalah mayat anak laki-laki, kakak kelas Eris, yang dikejar Artemis sampai anak laki-laki itu menaiki panjat besi. Karena panik dengan ancaman Artemis, anak laki-laki itu terpeleset dan tulang punggungnya patah membentur salah satu ruas panjat besi itu. Mona, anak perempuan yang selalu menjadi penyebab Artemis melakukan semua perbuatan onar, bahkan tidak ada saat Artemis butuh ditemani.
"Kamu temani Art terus ya, tante minta tolong sama kamu," Eris menatap prihatin wajah sedih Vanya lalu mengangguk tanpa perlu berpikir. Saat Vanya dan Henry berjalan lebih dulu ke pintu utama, Eli sempat bicara dengan suara pelan pada Eris "Ini waktu yang tepat Eris, kamu harus bisa membuat Artemis membenci Mona, Mona itu pengaruh buruk!"
"Pasti el,"
Setelah Vanya pulang, Eris langsung menaiki lantai dua dan mengetuk pintu kamar Artemis. Tanpa menunggu jawaban, Eris langsung masuk dan mendapati Artemis yang duduk bersandar di kepala ranjangnya dengan wajah sembab. Artemis tidak meghiraukan Eris yang sudah duduk tepat di sampingnya. Tidak suka suasana sunyi, Eris mengeluarkan iPod yang selalu di bawanya dan memasangkan satu earphone ke telinga kiri Artemis.
Artemis sedikit berjengit saat suara musik memasuki indra pendengarannya. Ia menoleh dan melihat Eris yang memejamkan kedua matanya sambil bersenandung menyanyikan lagu yang sedang mereka dengarkan. Eris membuka matanya dan menoleh ke samping saat di dapatinya Artemis menyandarkan kepala di bahunya. Air mata masih megalir dari kelopak mata Artemis yang tertutup, tapi ucapannya menghangatkan hati Eris, "makasih udah tetap jadi sahabatku ya er,"
"Sahabat itu nomor satu," Eris mengulang ucapan Artemis. Senyum Artemis terbit, ia membuka mata lalu mencium singkat pipi Eris, "Jangan tinggalin aku er," dengan kedua pipi merona Eris menjawab tegas permintaan Artemis, "Nggak akan,"
Semenjak kejadian itu, Artemis menjalani homeschooling untuk sisa-sisa masa sekolah dasarnya. Dan Eris serta Yazcha tak luput menemani nona muda yang masih dalam proses pemulihan mentalnya. Seperti hari-hari sebelumnya Eris yang baru pulang sekolah akan mengajak Artemis membaca bersama di perpustakaan kecil di rumah mereka. Sedangkan Yazcha hendak membantu para pelayan di dapur menyiapkan makan malam.
"Art?" Eris menyapa ceria Artemis yang duduk terdiam di karpet ruang perpustakaan. Saat semakin dekat dengan posisi Artemis, Eris dapat melihat wajah serius Artemis, sahabatnya itu tampak sedang berpikir keras.
"Kamu lagi mirikin apa sih?"