Theresa tidak tau ini keberapa kalinya dia bertemu dengan Nico. Dia benar-benar muak rasanya. "Nico, tolong, saya sangat terganggu."
"Siapa suruh kamu sulit diajak berkenalan. Saya ini kan pantang menyerah."
"Salah saya bersikap seperti itu? Lagipula jika Anda adalah saya, memangnya akan dengan senang hati memperkenalkan dirimu?"
Dengan percaya diri, Nico menjawab, "Tentu saja. Kenapa harus ditolak jika tampan, ramah, mapan pula?"
"Bukankah otak Anda terlalu dangkal untuk penampilan yang katanya tampan tersebut?" sindir Theresa sambil menekankan kata 'katanya'.
"Tidak perlu malu-malu untuk mengakui ketampanan saya, Nona."
Theresa geleng-geleng kepala. "Tampan tapi tidak berakhlak sama dengan bodoh, Tuan. Menunjukkan bahwa ketampanan secara tidak langsung adalah kesia-siaan."
Nico tertawa. "Kamu luar biasa, tidak sabar mengenalmu lebih dekat."
"Saya pastikan kamu menyesal berbicara dengan lancang seperti ini kepada saya."
Nico menautkan kedua alisnya, "Seharusnya saya yang memberi peringatan seperti itu."
"Lalu, apakah saya terlihat peduli? Tidak. Daripada itu, Nico, lebih baik kamu selesaikan urusanmu dengan gadis bernama Christina di sana. Gadis itu sungguh cocok denganmu, mengingat kalian berdua sama-sama menyukai bermain peran. Dan bukankah gadis itu menyukaimu? Jangan sia-siakan perasaannya, semangat!" ujar Theresa sambil menepuk bahu Nico, lalu meninggalkannya begitu saja.
Theresa menganggukkan kepalanya saat bertatapan dengan Christina dari jauh. Menyapa gadis itu, setidaknya berusaha untuk bersikap ramah kepada karyawan adalah hal yang tepat. Namun, Christina malah menunjukkan tatapan bencinya kepada Theresa. Tapi siapa peduli, masih ada banyak orang di luar sana yang menghargainya, ketimbang yang membencinya.
Theresa memutuskan untuk pergi ke toilet lebih dulu. Theresa senang dengan kualitas toiletnya. Bersih, menunjukkan bahwa anggota cleaning service sangat telaten dan bertanggung jawab dalam menjalankan pekerjaannya. Setelah memastikan penampilannya rapi, Theresa keluar dari toilet. Sayangnya, karena sibuk memerika pesan yang masuk ke dalam ponselnya, tanpa sengaja Theresa bertabrakan dengan seseorang.
"Aduh, sakit."
Cowok itu hanya menatapnya sekilas. "Maaf," ujarnya dan berjalan pergi begitu saja.
"Woi, lo jadi cowok ga gentle banget! Tolongin bisa kali," omel Theresa.
Tapi pria itu tetap melangkah pergi tanpa menunjukkan kepeduliannya kepada Theresa. Theresa buru-buru menaiki lift karena katanya ayahnya akan datang sebentar lagi. Ada yang harus mereka bicarakan.
Saat berada di lift, Theresa menjadi sangat menyesal saat memutuskan untuk menaiki lift karyawan hanya karna terbiasa melakukannya. Lagi-lagi dia bertemu dengan manusia batu yang dingin dan tidak pandai berinteraksi tersebut. Sialnya, hanya ada mereka berdua.
Theresa juga kesal karna pria tersebut tidak sedikitpun bisa mengalah. Saat Theresa ingin menekan tombol lantai yang dituju, pria itu langsung menyela dan menekannya lebih dulu.
"Bisa ngalah gak sih?" protes Theresa.