Aru Shah and the End of Time

Noura Publishing
Chapter #3

Ups

Sudah pukul empat sore ketika Aru dan ketiga temannya berjalan bersama menuju Aula Para Batara.

Pukul empat sore itu seperti basemen. Sepenuhnya tidak berbahaya, secara teori. Namun, jika kau benar-benar memikirkannya, basemen itu adalah semen yang dituang pada bumi yang gelisah. Ruangannya berbau tidak enak dan masih belum dipoles, dan kasau-kasau kayunya memantulkan bayang-bayang yang terlalu tajam. Tempat itu seolah mengatakan sudah hampir, tetapi belum sepenuhnya. Pukul empat sore juga terasa seperti itu. Sudah melewati, dan tidak bisa lagi disebut siang. Sudah hampir, tetapi belum sepenuhnya malam. Dan momen sudah-hampir-tapi-belum-sepenuhnya seperti itulah yang di­tunggu-tunggu oleh sihir dan mimpi buruk.

“Omong-omong, di mana sih ibumu?” tanya Poppy.

“Di Prancis,” kata Aru sambil berusaha meninggikan dagunya. “Aku tidak bisa ikut karena harus menjaga museum.”

“Barangkali dia berbohong lagi,” celetuk Burton.

“Sudah pasti dia bohong. Cuma itu keahliannya,” sahut Arielle.

Aru bersedekap. Dia punya banyak keahlian, andai saja ada yang mau menyadarinya. Dia hebat mengingat fakta yang baru saja didengarnya satu kali. Dia juga jago main catur, saking jagonya dia bisa saja maju sampai turnamen nasional seandainya Poppy dan Arielle tidak mengatakan Tidak ada yang mau bergabung dengan tim catur, Aru. Kau tidak sepantasnya melakukan itu. Jadi, Aru pun keluar dari tim catur. Dulu, dia juga hebat saat ujian. Namun, sekarang, setiap kali du­duk mengerjakan soal, yang bisa dia pikirkan hanyalah betapa mahal sekolahnya (ibunya harus mengeluarkan uang banyak), dan bagaimana semua orang menilai sepatunya, yang sudah ke­tinggalan zaman satu tahun. Dan Aru ingin keberadaannya disadari. Namun, keberadaannya terus-menerus disadari untuk alasan-alasan yang keliru.

“Kalau tidak salah ingat, kau bilang kau punya apartemen di pusat kota, tapi pangkalan barang bekas ini adalah alamat yang tercatat di direktori sekolah,” dengus Arielle. “Jadi, kau benar-benar tinggal di museum?”

Yap.

“Tidak? Lihat saja sendiri—memangnya kau lihat kamarku?”

Ada di lantai paling atas ....

“Kalau kau tidak tinggal di sini, kenapa kau pakai piama?”

“Semua orang pakai piama selama siang hari di Inggris,” jawab Aru.

Mungkin.

“Itu yang dilakukan kaum bangsawan.”

Kalau aku bangsawan, aku akan melakukannya.

“Terserah apa katamulah, Aru.”

Mereka berempat berdiri di Aula Para Batara. Poppy me­ngerutkan hidung. “Kenapa sih dewa-dewamu punya tangan sebanyak itu?”

Ujung atas telinga-telinga Aru memerah. “Begitulah adanya.”

“Bukankah ada sekitar seribu dewa?”

“Entahlah,” kata Aru.

Dan kali ini dia mengatakan yang sebenarnya. Ibunya pernah bilang bahwa ada banyak sekali jumlah batara atau dewa Hindu, tetapi mereka tidak terus-menerus menjadi satu sosok yang sama sepanjang waktu. Terkadang mereka bereinkarnasi—atma atau jiwa mereka terlahir kembali dalam sosok lain. Aru menyukai gagasan ini. Terkadang dia bertanya-tanya siapa dirinya pada kehidupan sebelumnya. Mungkin Aru versi itu tahu cara menaklukkan monster yang bernama kelas tujuh.

Teman-teman sekelasnya berlari melintasi Aula Para Batara. Poppy menonjolkan pinggul, menjentikkan tangan meniru pose salah satu patung, kemudian mulai tertawa-tawa. Arielle me­nunjuk-nunjuk lekukan tubuh para batari, lalu memutar bola mata. Hawa panas merambati perut Aru.

Rasanya dia ingin semua patung itu hancur di tempat. Andai saja patung-patung itu tidak begitu ... telanjang. Begitu berbeda.

Dia jadi teringat tentang tahun lalu, ketika sang ibu memba­wanya ke jamuan kehormatan kelas enam di sekolah lamanya. Saat itu Aru mengenakan busana yang menurutnya paling can­tik: salwar kameez biru terang yang berhiaskan cermin-cermin kecil berbentuk bintang dan bersulamkan ribuan benang perak. Sementara ibunya memakai sari merah gelap. Aru merasa seperti bagian dari kisah dongeng. Setidaknya begitu mereka sampai di ruang jamuan, ketika semua mata memandang dengan sorot yang sangat mirip dengan rasa iba. Atau malu. Salah satu anak perempuan berbisik keras-keras, Memangnya dia tidak tahu kalau sekarang bukan Halloween? Aru harus berpura-pura sakit perut agar bisa pulang lebih awal.

“Hentikan!” seru Aru ketika Burton mulai menjolok-jolok trisula Batara Siwa.

Lihat selengkapnya