Hari-hari telah berlalu, semenjak kepergian Alena membuat perubahan sikap kedua orang tua Alana makin hari makin acuh tak acuh kepada Alana. Mama dan papa Alana menganggap Alena meninggal adalah karena kecerobohan Alana. Setiap hari hanyalah omelan dan pukulan yang Alana terima. Alana hanya bisa menangis pilu didalam hati, Ia tak bisa berbuat apa-apa.
3 bulan telah berlalu...
Pagi hari telah tiba, waktu dimana semesta membangunkan penghuninya untuk memulai berbagai aktivitas. Sama halnya dengan gadis cantik bernama Alana Lovania Givania yang sudah bangun dari tidur lelap serta mimpi indahnya, bahkan mimpinya lebih indah dari kehidupan remajanya. Tanpa menyia-nyiakan waktu, ia bangkit lalu menuju kamar mandi guna bersiap. Sebelum berangkat, ia menyempatkan diri untuk menghirup udara segar khas embun pagi dari balkon kamarnya.
“Alena, andai kamu masih ada, sekarang kita sudah masuk SMA..”
Sial, Alana kembali meratapi sebagian nyawanya yang hilang terbawa oleh kembarannya. Mungkin jika boleh bertolak belakang dengan takdir, Alana tak apa jika Tuhan memanggilnya lebih dulu, asal jangan adiknya. Menghela nafas sembari melukis senyum di atas duri duri penderitaan sudah menjadi hal yang biasa bagi Alana, begitulah Alana menjalani kehidupannya sekarang yang semu.
Tak ingin lagi berkecamuk dengan pikirannya yang kalut, Alana meringis kesakitan melihat sayatan di tangan kirinya, Alana sudah biasa melakukan nya selama ini. Segera Ia bergegas kekamar mandi dan keluar dari kamarnya.
Alana menuruni tangga, melihat mamanya berada di meja makan lalu berpamitan kepada mamanya.
“Ma, Alana pamit mau berangkat.”
Mamanya hanya menatapnya sebentar lalu kembali memainkan handphonenya. Sekarang Alana sudah biasa mendapatkan perlakuan itu dari mama nya. Alana segera mengambil bekal yang telah disiapkan di meja makan lalu bergegas pergi mengambil motor di garasi yang ia beri nama 'Pingky' yang artinya motor berwana pink. Alana mengendarai motornya dengan santai sembari menghirup udara segar khas kota kembang.