Juna
Juna terbangun dari tidurnya, ia melihat hape nya, pukul 5 lewat, ia dengan cepat menggambil air wudhu dan solat subuh, setelah solat, ia duduk di pinggir kasurnya, mengambil hape nya dan melihat ada notifikasi masuk, ternyata ada satu pesan suara yang durasinya cukup panjang dari Ana yang terkirim pada pukul 3 pagi tadi. Ia mengambil earphone dari laci kamarnya lalu memasangnya ke hape dan memutarkan pesan suara itu.
Saat pesan suara itu dimulai, terdengar isak tangis Ana “Jun? Ini aku, Ana. Makasih kamu udah datang semalam, meski rasanya sangat menyakitkan buat kamu, aku mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya udah menjadi pacar yang baik untuk kamu selama 5 tahun kita bersama mulai dari Bandung sampai kita kembali ke Batam. Makasih buat puisi-puisi Sapardi yang sering kamu lantunkan buat aku.Makasih buat segala tawa yang udah kamu kasih ke aku.Makasih kamu udah menjadikan senyum ku untuk menjadi motivasi hidup mu. Aku mengirim pesan ini pukul 3 pagi ini karena jam 5 pagi ini aku akan berangkat ke Malaysia, aku akan tinggal di sana sampai aku melahirkan dan seterusnya, aku akan di sana. Jadi, terima kasih sekali lagi sudah hadir di hidupku.Terima kasih sudah mau menjadi sandaran hidup ku untuk 5 tahun ini. Semoga, suatu hari nanti kita akan bertemu lagi di keadaan dimana kita berdua sama-sama sedang baik. Terima kasih, Jun. Aku pamit”
Juna terdiam, kini kamarnya menjadi sangat suram, kelam dan entah mengapa tiba-tiba dingin datang merasuki tubuhnya seperti ingin membunuhnya saja karena ia tak punya lagi sandaran hidup setelah 5 tahun lamanya mereka bersama dan dalam 5 hari saja, hati nya sudah dihancurkan dengan fakta-fakta yang membuatnya makin sakit hati karena tau, orang yang selama ini memberikan perhatian lebih dan mempunyai senyum yang begitu manis itu sudah pergi meninggalkannya dan ia akan memberikan perhatian serta senyumannya ke orang lain untuk selama-lamanya.
Dia sudah bahagia, Jun, dia sudah bahagia, tak perlu kau tangisi lagi, yang perlu adalah kau bersuka cita karena ia akan hidup bahagia, bukan hidup menderita. Tak perlu kau tangisi Jun, tak perlu begitu kata hati Juna setelah ia mendengar pesan suara itu. Ia merebahkan tubuhnya ke kasur, ia menghela nafas dan menutup matanya.
Ia mengingat momen-momen penting dalam hidupnya ketika untuk pertama kalinya ia mengajak Ana menonton ke bioskop, ia mengajaknya ke Paris Van Java, mall paling mahal di Bandung, ia langsung mengajaknya nonton 4DX, menonton film Exit, film dari Korea Selatan, ia tak ingat sama sekali isi filmnya, yang ia ingat adalah, setiap kursinya bergoyang, ia mendengar tawa renyah nya Ana dan betapa takutnya Ana terjatuh dari kursinya hingga ia tak mau melepas tangan kanan nya Juna yang ada di sampingnya sampai film nya selesai dan sampai kursi itu sudah diam lagi.
Ia mengingat betapa suka nya Ana dengan Glenn Fredly hingga ia rela membeli tiket konser nya yang paling mahal karena tiket yang murahnya sudah terjual habis dalam 5 menit pertama. Ia mengingat betapa tergila-gila nya Ana dengan Glenn Fredly hingga setelah konser nya selesai, Juna sempat cemburu karena Ana begitu mencintai musisi itu, apalagi ketika lagu ‘Kasih Putih’ dinyanyikan, seraya ia menyanyi dengan membentangkan tangannya dan menutup mata, seolah-olah ia sedang terbang. Juna melihatnya dari samping hanya tersenyum dan dari situ ia menyadari, ia bahagia bila melihat Ana bahagia.
Dan sekarang, saat nya melakukan sebuah usaha untuk melupakan dan mengikhlaskan.Juna bangkit dari kasurnya.Ia melihat jam di hape nya, jam setengah 6 lewat, ia pun masuk ke kamar mandi. Saat mandi, ia mencoba menahan tangisannya. Lalu setelah beberapa waktu, ia dengan cepat mandi dan keluar dari kamar mandi, berpakaian dengan kemeja. Setelah berkaca, ia ingat bahwa dulu, ia pernah memamerkan kemeja mahal ini ke Ana dan ia ingat reaksi Ana, “Nah, kalau kamu pake ini, aku makin jatuh cinta deh sama kamu, asli, ga boong”.
Juna lalu menampar diri nya, “Fokus, Jun, Fokus! Lupakan Ana!”. Juna mengambil handphone nya, sudah jam 6, Ana berarti sudah naik kapal ke Malaysia, AKH! Juna menampar dirinya lagi, “FOKUS JUN! FOKUS!” ia menghela nafas, lalu keluar dari kamarnya dan memasak indomi dengan cepat, lalu berangkat ke kantor dengan motor antik nya.
Sampai di kantor, seperti biasa, Juna mengantri di lift dan kali ini antriannya menumpuk, jam sudah menunjukkan hampir jam 7 pagi. Lalu pintu lift terbuka, ia dengan cepat masuk dan tak peduli sudah berdesak-desakan dan badannya terhimpit badan orang lain dan seperti biasa, di lantai dua orang berdesak-desakan untuk keluar dan ya, di lantai selanjutnya seperti itu juga dan akhirnya ia sampai di lantai 4. Ia keluar dan dengan cepat absen lalu duduk di kursinya. Ternyata Arumi dari tadi sudah duduk di kubikelnya.
“Hai” sapa Juna
“Hai” sapa Arumi pendek
“Tumben cepet?”
Arumi tersenyum lalu ia menyibukkan diri dengan pekerjaan nya. Ada yang aneh lagi dengan Arumi hari ini.Padahal, kemarin baik-baik saja.
Arumi