Juna
Pukul 7 malam, ia keluar dari ruangan Pak Anton setelah menyelesaikan laporan-laporan penting. Ia kembali ke meja nya dan berberes, ruangan sudah kosong, bahkan Bang Ery pun juga sudah pulang. Saat sedang berberes, ia melihat meja sebelahnya, ternyata ada dompet yang ditaruh di meja, ia mengambilnya dan melihat ada uang di dalamnya.
Juna mengambil KTP dari dompetnya dan membaca nya, ‘Arumi Larasati’. Ah, ternyata itu nama panjangnya Arumi. Ia melihat foto KTP Arumi, ia terlihat sedikit senyum di foto itu. Senyum manis milik Arumi ini mengingatkannya dengan senyum manis yang begitu melekat pada Ana. Ah, Ana, apa kabar dia?
Juna pun mengambil dompet Arumi, memasukkan nya ke dalam tas nya, lalu mencoba menelpon Arumi, namun tak diangkat oleh Arumi. Ia melihat sekitar kantornya tidak ada orang yang bisa dititip, bahkan Bang Ery juga memang sudah pulang, di kantor masih ada Pak Anton, tapi, ya, ga mungkin ia menitipkan dompet seorang karyawan kepada atasan. Sangat aneh sekali rasanya.
Ia pun berpikir sejenak, apa aku harus ke rumah Arumi? Namun, ia sedikit takut nanti tiba-tiba saat ia sampai di rumah Arumi, tiba-tiba saja Hatta muncul entah darimana. Ia sudah cukup memberi masalah kepada Arumi hari ini, setelah mereka makan siang di warkop, ia memerhatikan betapa gelisah dan kesalnya Arumi dengan apapun yang ia hadapi di hape nya, tentu saja hape nya tidak lag atau rusak yang membuatnya kesal atau gelisah, pasti itu ada hubungannya dengan Hatta yang tampaknya punya banyak mata-mata sampai bisa mengetahui bahwa ia dan Arumi makan siang sama-sama. Ini orang kerja nya apa sih sampai bisa punya banyak mata-mata menyebar di penjuru kota Batam cuma buat jagain Arumi dari sentuhan seorang Juna?
Sekali lagi¸ Juna menelpon Arumi untuk kedua kalinya, nada sambung terdengar sangat panjang. Ia melihat Pak Anton keluar dari ruangannya, Pak Anton melihatnya masih di kursinya, “Enggak pulang kamu?” tanya beliau. Juna menutup telponnya dan menaruhnya di kantung celana. “Ini mau pulang, pak” jawab nya. Pak Anton mengangguk lalu ia berjalan ke lift diikuti oleh Juna.
Mereka berdua masuk ke dalam lift, terjadi keheningan sejenak. Pak Anton berdeham, tampaknya ia akan berbicara. “Arumi, apa kabar?” tanya nya. Juna kaget, ia melihat Pak Anton, “B-baik” jawab Juna dengan pelan. “Kalian udah lama pacaran?” tanya nya. Juna tersenyum, “Kami cuma temenan aja kok, pak”. Pak Anton tertawa kecil, “Gak percaya saya, tapi kalo pun kalian temenan, entar lagi juga jadian itu hahahaha”. Lalu pintu lift terbuka, “Eh saya duluan ya, udah ditunggu sama supir saya itu” kata Pak Anton, lalu tanpa ada anggukan dari Juna ia pergi meninggalkannya.
Dalam hati, Juna baru saja mengaminkan bercandaan nya Pak Anton barusan, kalo pun kalian temenan, entar lagi juga jadian. Semoga aja, karena sejujurnya aja, 3 tahun bertemu Arumi, kadangkala melihatnya tersenyum atau tertawa dengan rekan kerja yang lain, mengingatkan Juna akan Ana, seperti seolah-olah, tuhan memang sengaja membuat Juna berpisah dengan Ana, namun, ia memberi nya pengganti yang persis seperti Ana, namun, ia lebih baik lagi daripada Ana.
Keluar dari kantor, ia menuju motor antik kesayangannya, lalu, di motor itu ia membuat keputusan. Kemana ia akan pergi? Apa ia akan pulang ke rumahnya, lalu memberikan dompet itu besok pagi atau ia akan pergi ke rumah Arumi? Bila ia pulang, ia takut tiba-tiba Arumi panik karena dompetnya ia kira dicuri oleh seseorang dan akan panjang urusannya, namun, bila ia ke rumahnya, ia hanya takut ada Hatta dan bisa saja ia dihajar oleh Hatta karena bisa-bisanya dompet Arumi ada ditangannya, nanti dituduh yang macem-macem sama seorang seperti Hatta yang mungkin saja akan melakukan hal seperti itu.
Hmm, kini ia menimbang-nimbang lagi, 2 menit kemudian, ia mengambil keputusan, ia menunda kepulangannya ke rumah tercinta nya, “Sabar ya, motor ku, kita antar dulu dompet nya Arumi ini ke rumahnya lalu kita pulang, oke?”. Setelah mendapat restu dari motor tercinta nya, waktunya tancap gas ke rumah Arumi dan berdo’a semoga Hatta ataupun mata-mata sialan nya sedang tidak ada disana.
Sampai di perumahan nya Arumi, ia melewati rumah keluarga Ana. Rumah itu gelap, tampaknya semua orang sudah tidak menempati rumah itu lagi. Terlihat di depan pagar nya ada tulisan ‘Rumah ini dijual’ dan tertera nomor seorang agensi perumahan. Tampaknya, satu keluarga Ana semuanya pindah, berarti, memang saat itu adalah saat terakhir Juna bertemu dengan Ana.
Ia sampai di depan rumah Arumi, terdengar suara teriakan seperti ada orang yang sedang berantam di dalam rumah itu. Namun, suara perempuan nya tak terdengar seperti suara Arumi dan suara laki-lakinya bukan seperti suara Hatta yang pernah ia dengar beberapa kali. Apa aku salah rumah? Juna melihat kembali alamat nya yang tertera di KTP nya Arumi dan mencocokan lagi dengan nomor rumah yang ada di dinding rumah nya. Sama.
Akhirnya, Juna turun dari motornya dan memberanikan diri untuk masuk ke halaman rumahnya, “Permisi!” sahut nya. Suara teriakan itu mulai reda, namun masih terdengar suara dua orang yang berdebat di dalamnya, ia tak terlalu mendengar apa yang mereka perbedatan, namun terdengar nama seorang wanita, Ranti, di dalamnya. Siapa Ranti? Adik nya Arumi kah?