Arumi
Pukul 8 malam di kota Batam pada hari Senin ini sangat damai, orang-orang pulang ke rumahnya berkumpul kembali dengan keluarga tercinta mereka setelah berkutat dengan banyak pekerjaan di rumah mereka. Namun ada pula dari mereka yang keluar dari rumah mereka, membawa mobil atau motor mereka pergi ke mall untuk sekedar cuci mata atau makan malam.
Disinilah, di malam ini, untuk pertama kalinya, setelah 3 tahun lama nya jok belakang motor antik kesayangannya yang menjadi satu-satunya warisan yang diberikan dari ayahnya kepadanya kembali di duduki oleh perempuan bernama Arumi Larasati yang entah mengapa, terkadang kehadiran nya benar-benar mengingatkannya dengan Ana yang merupakan mantan terindah nya Juna yang sampai saat ini, ia masih berharap, Ana akan menelponnya dan kembali ke pada nya yang tampaknya itu akan sangat sangat tidak akan mungkin terjadi.
Di motor itu, duduk Arumi yang memperhatikan orang-orang berjalan di pinggir, kadang ada beberapa warung-warung kecil dimana ada bapak-bapak yang merokok di dekat warung itu sambil meminum kopi dan kadang-kadang ia tertawa bersama teman-temen se-pengangguran nya. Ia juga melewati banyak kopitiam yang diisi dengan banyak engkong-engkong yang duduk bersama teman-teman pensiunan nya, mereka minum kopi dan beli nasi ayam hainan sambil sesekali bercerita mengorek-ngorek lagi cerita-cerita masa lalu mereka sambil sesekali tertawa. Pemandangan malam hari itu benar-benar membuat Arumi tersenyum dan sesekali lupa dengan segala masalah yang sedang menyerangnya.
Motor berhenti di lampu merah, seorang pengamen yang mengenakan kostum badut sedang berjuang mendapatkan uang dari mobil-mobil yang ngantri di depan. Ia sesekali mencoba melucu sambil berharap jendela mobil mereka terbuka dan menjulurkan sedikit uang yang mereka miliki dari dompet mereka.
“Oh iya, kamu kok nggak pulang sama pacar kamu?” tanya Juna sambil menengok ke belakang sedikit agar suaranya terdengar oleh Arumi. Arumi yang sedang sibuk melihat kegiatan pengamen itu terbuyar lamunannya. “Sorry, kenapa?” tanya Arumi bertanya kembali. “Iya, kok kamu enggak pulang pacar kamu? Terus mau-maunya kamu pulang sama aku?” tanya Juna. “Oh… tadi sih aku mau pesen ojek online, tapi karena ada kamu, ya, terpaksa deh. Hehe” jawabnya dengan tertawa kecil. Juna tertawa kecil, “Kok terpaksa?”. “Ya kan kamu tukang ojek yang aneh, karena gak ada ojek online, ya terpaksa deh sama yang aneh kaya kamu” kata Arumi yang disambut oleh tawa Juna.
Hening sejenak, Arumi melihat lampu lalu lintas yang masih berwarna merah, “Oh iya, aku masih penasaran, kenapa kamu pulang sendirian? Hatta kemana? Kok dia enggak nganterin kamu balik?” tanya Juna. Arumi menghela nafas, “Iya, sebenarnya dia sih yang harusnya nganterin aku balik, tapi aku lagi males, kita lagi berantem, jadi, yaudah aku pulang sendiri aja daripada ribut nya makin gede”. Juna sekarang diam, ia tak merespon ‘oh’ atau apapun, tampaknya, ia pria yang bisa mensituasikan diri bagaimana merespon hal-hal seperti ini.
Arumi melihat lampu lalu lintas berubah dari merah menjadi kuning, terdengar sedikit suara motor mulai di gas, bersiap-siap untuk berjalan, lalu beberapa detik kemudian lampu lalu lintas berubah menjadi warna hijau, mobil di depan berjalan dengan lambat, terdengar sahutan klakson dari mobil-mobil di belakang yang tampaknya sedang terburu-buru hingga tak bisa sabar menunggu sekitar sepersekian detik sekalipun.
Motor Juna bergerak, secara tak sengaja saat motor nya di gas, badan Arumi yang agak menjauh dari Juna jadi dekat dengan punggung Juna. Arumi pun berusaha memposisikan dirinya agar badannya tak terlalu dekat dengan punggung Juna, ia tak mau diri nya terasa canggung dengan Juna dan ia masih sadar diri, meski ia sedang marah besar dengan Hatta, ia masih miliknya. Seutuhnya miliknya.
Arumi mencari pegangan di motor tersebut, tangannya meraba-raba kiri kanan badan motor, tangannya tak menemukan pegangan, kini kepala dan mata nya ikut mencari, ia melihat kiri kanan, ternyata motor ini memang tak ada pegangannya, Juna melihatnya dari spion dan tampaknya ia sadar Arumi sedang mencari pegangan di motor nya itu.
“Kenapa?” tanya nya
“Ini motor kamu motor modus ya? Kok enggak ada pegangannya nih?”
Juna tertawa, “Ini bukan motor modus! Ini motor antik nih!”
“Oh motor antik, pantesan aja susah banget ini, naik nya susah, enggak ada pegangan segala lagi” keluh nya yang disambut dengan tawa kecil dari Juna. “Yaudah…kalau gitu aku rela kok kalau punggung ku dikorbanin untuk jadi pegangan kamu selama perjalanan kita ini” kata-kata modus nya Juna itu disambut dengan tawa dan pukulan kecil ke punggung Juna, “Ya itu nama modus, Juna! Ah elah, gak motor nya, orang nya pun juga suka modus juga ih!” katanya dengan gemas. Juna pun hanya tertawa-tawa kecil.
Juna
Motor mereka melintas di depan sebuah restoran, “Sekarang jam berapa?” tanya Arumi kepadanya. Juna mengangkat bahu nya, “Mana ku tau, aku kan lagi nyetir motor nih, gak bisa liat jam” jawab Juna. “Oh iya bener juga, hehe” lalu Arumi melihat jam di hape nya, ternyata, mereka baru 35 menit berada di motor ini, “baru jam setengah sembilan lewat lima menit nih” kata Arumi.