Senja temaram, matahari menemui rembulan untuk berpamitan. Rembulan putih menunggangi senja menuju kesenyapan malam. Kedip gemintang dari kejauhan membayangi, mengiringi kepergian bayang-bayang manusia hingga lenyap sempurna. Dedaunan meredup, tertunduk sendu mengantarkan matahari ke peraduannya. Matahari akan segera jatuh di kedalaman, memendar jadi kirana yang menghanyutkan, memberi panggung pada sang gelap untuk segera menghitam.
Formasi V tampak di pelupuh langit. Angsa, peserta konvoi, mengepak tak sabar menuju arah pulang, dimana anak-anaknya tak sabar menunggu suapan. Satu dua kepakan lelah sudah. Buncahan rindu, membuat sarang di depan mata, terasa begitu jauh bagi mereka. Sarang tempat bercengkerama anak dan istri.
Serangga nokturnal mulai menyanyikan lagu kegelapan, menyambut tarian rembulan yang akan segera ditampilkan. Tirai langit ditarik malaikat malam kesebelah kanan, hingga tampaklah auratnya menghipnotis beranta[1]. Awan putih semburat merah jadi pesona artistik latar panggung ujung senja. Samar, rembulan menyabitkan seulas senyum erotis sambil bermadah, mendendangkan lagu renjana nan lembut. Dunia hanyut, manusia menepi ketepian senja
Seorang lelaki muda berjalan menunduk, langkahnya santun meski tak menghilangkan jejak gagahnya. Matanya tertuju pada ubin tanah liat yang eksotik dengan warna coklat kehitamannya. Benda eksotik yang menyediakan dirinya untuk diinjak lelaki santun itu. Sesekali jawaban salam keluar dari mulutnya saat orang-orang yang dilewatinya berucap salam. Seulas senyum ramah senantiasa ia ulaskan meski matanya sekejap saja menatap si pengucap. Jalan kecil lurus menuju pintu masjid Farid Esak, seperti karpet merah yang disediakan khusus untuk si pemuda injak. Di kanan kirinya pohon pucuk merah berderet rapi, menambah asri masjid yang diberi nama unik itu, Farid Esak.
Tujuh langkah lagi menuju pintu masjid, sesosok wanita seperti memperhatikan langkah si pemuda. Spotlight Effect[2], ia merasa canggung dibuatnya. Di ujung matanya sekelebatan tampak sosok wanita yang sedari tadi memperhatikannya, namun tak berani ditatapnya dengan sempurna. Sampai seonggok salam terucap dari mulut si wanita.
“Assalaamu’alaikum”, seperti pada yang lainnya si pemudapun membalas salam dengan santun dan tentu dilengkapi seulas senyum meski dengan mata yang tetap menunduk.
“Wa’alaikum salam”, setelah sekilas melihat sosok perempuan berhijab panjang warna krem di depannya. Ada sesuatu yang berbeda dari seonggok salam si wanita tadi, tapi entah apa.
“Nara ...?”
Hah ... dia tahu namaku? bisik si pemuda dalam hatinya.
“Ya ... dengan siapa ya?” tanyanya ramah meski pandangannya tetap menunduk..
“Aku Runa...Aruna...Ranca Upas...”
“Masya Allah ... Runa ...?” akhirnya ia pun mengangkat kepalanya, dan tampaklah sosok yang sudah sangat lama tak ditemuinya, Aruna ... Runa gadis kecil nan tomboy yang sekarang telah menjelma menjadi wanita dewasa yang anggun dengan hijab panjang yang menyempurnakan kecantikannya. Aruna, teman SD nya dulu di Bandung. Ada yang mendesir di dalam dadanya Subhanallah, bisiknya.
“Yaa Allah ini beneran kamu Run?” imbuhnya lagi menuntaskan kepenasaran.
“Ya ... aku Runa ... apa kabar ustadz Nara?”
“Hei ... jangan mulai deh aku bukan ustadz” elaknya, kekakuan pun mulai mencair.
“Sudah lama banget ya kita ga ketemu? ujar Aruna
“Ya ... sejak kita berpisah pas perpisahan kelas 6 SD dulu ... tuh berapa tahun ya?”
“Mungkin enam belas tahun lalu kali ya?”
“Hmm ... enam belas tahun ya?”
“Yah ... kurang lebih segitulah Ra.”
“Berarti kita sudah tua ya...he..he..waktu memang candu, dia membuat kita lengar[3] hingga tak merasa kalau tubuh semakin renta” gumam Nara perlahan. Setelah gumamnya surut, ia pun melanjutkan.
“Eh gimana kabar kamu Run?” tanya Nara sambil tetap berusaha menjaga pandangannya.
“Ya gitu deh ... kamu sendiri gimana Ra?”
“Masih Runa yang dulu rupanya?”
“Maksud kamu?”