Aruna

kieva aulian
Chapter #3

3. Air Mata Kaliandra

Berdahanam[1] dada Ziya membuka helai demi helai halaman buku yang kini berada di tangannya. Buku yang belum usai dibacanya itu mampu menggeriakan amarahnya meski baru beberapa halaman saja usai dilahapnya. Buku dengan gambar latar  marun itu bertajuk “Dan Akupun Menggugat” dengan sub judul “Relativitas Teorita Nilai-Nilai Agama, antara Norma dengan Fakta”. Buku itu didapatnya dari salah seorang jamaah yang memintanya untuk membahas bahkan kalau perlu menulis tanggapan atas buku kontroversial itu.

Nama Abdurahman Niske itu kembali menggelayut di benaknya. Penulis buku kontroversial itu rupanya dengan angkuh telah mengusik ketenangan bahkan keyakinannya, tidak untuk kali ini saja, namun, untuk kesekian kalinya.

Ini adalah buku kedua Niske yang dibacanya. Beberapa bulan lalu Ziya telah tuntas merapal buku pertamanya Niske bertajuk Membela Akal Sehat – Agama Hanya Untuk Kaum Irasional. Kemarahan Ziya pada Niske dimuntahkannya dalam kolom komentar di official websitenya Niske, “akalsehat.www.com”, beberapa bulan lalu.

Dengan keras Ziya mengutuk Niske dan memberinya gelar Nietchce baru. Seperti sudah diduga mereka terlibat perdebatan panjang yang panas. Adu argumen pelik tak terelakan. Ziya yang setelah menjadi mu’alaf dan nyantri di pondok pesantren ternama di Mlarak dan menamatkan beasiswa S1 dan S2nya di International Islamic Call College Libya dengan yudisium Cum Laude, benar-benar geram dengan tulisan-tulisan Niske.

Meski geram Ziya melanjutkan bacaannya

“Adalah lelucon belaka bila agama dengan penuh percaya diri menyatakan dirinya sebagai new grand naration[2]. Agama sebagai suatu narasi?, sebenarnya sama saja dengan narasi-narasi lain di dunia ini. Narasi-narasi yang memiliki nilai relatif bahkan bisa jadi nihil dari nilai kebenaran.”

Sebuah paragraf yang sungguh menginjak-injak ego seorang Ziya. Kurang ajar ni orang, gumam Ziya sendiri di kamarnya. Geramnya terhenti oleh dering hp di meja kamarnya.

“Assalaamu’alaikum Ka” ujarnya mendahului Arka

“Wa’alaikum salam ustadz...eh...jadi ga ketemuan?”

“Oh...InsyaAllah jadi dong, di Kaliandra kan?”

“Yoi...si Runa ma si Nara juga dah ok ko...kayanya mereka dah otw deh..”

“Ok deh..sampe ketemu disana ya...Assalaamu’alaikum” pungkas Ziya.

           Sejenak ingatnya kembali ke sosok Niske yang membuatnya mual, celoteh batinnya kembali menyeruak,

Kok bisa ada orang seperti dia? Agama itu suci sekaligus agung, tak pantaslah ia diperlakukan dugal[3] seperti itu. Bagaimana bisa, firman Tuhan yang sakral dipersonifikasi tanpa adab seperti itu. Tak bisa dibayangkan, dunia tanpa agama, apa jadinya? Apa jadinya jika kitab suci diperlakukan tak ubahnya sebuah novel yang tak luput dari galat[4]? Lantas, manusia bersandar pada apa dalam mengarungi kehidupan bila tak bersandar pada suatu yang mutlak kebenarannya yakni kitab suci?

           Manusia angkuh mencela Tuhan dengan julukan “relatif”, sementara mereka sendiri menyandarkan keyakinannya pada akal pikiran yang justru teramat tandas relatifitasnya. Sungguh ambigu yang lajat[5].

           Celoteh yang terus menanak emosinya hingga hangus terbakar. Celoteh yang untuk sesaat mendingin ketika langkah kakinya menderap di pintu Cafe Kaliandra.

Cafe Kaliandra

 

Aruna, Nara dan Arka sudah lebih dulu sampai di cafe yang berdiri anggun di kawasan Bandung Utara tepatnya Ciburial. Kaliandra, tak terlalu luas, namun kecantikan taman asri yang bertindak sebagai resepsionis, mampu menutupi kekurangan itu. Bangku panjang di pojok beranda tanpa meja, menggoda untuk diduduki. Beratap lembayung sore yang molek, ditemani semilir dingin angin kaliandra yang menusuk, diiringi simfoni garengpung yang nostalgik dan ditingkahi secangkir kopi, duhai...bahagia itu sederhana rupanya!

Dihiasi beberapa rumpun bambu jepang, angsana, pucuk merah, kamboja ungu merah, mawar putih, dan tentu saja kaliandra sebagai maskotnya mampu membuat siapapun yang menatap taman kaliandra akan jatuh cinta. Semua pendaman itu anggun melenggok diatas rumput jepang nan hijau melapangkan. Jalan setapak menuju pintu utama dialasi kerikil hitam oval mengundang hasrat.

Alunan suara live musik akustikan indah mengalun menyambut kedatangan Ziya.

“Assalaamu’alaikum....sorry...sorry telat...”cecarnya tanpa menunggu balasan atas salamnya.

“Wa’alaikum salam” balas ketiganya.

“Kenapa telat ustadz?” canda Arka nakal

“Weiy...aku bukan ustadz “ sungut Ziya

“Ha..ha..percis jawabannya Nara pas kemaren ketemu di Farid Esak” goda Aruna sambil melirik Nara yang sedari tadi asyik memulir biji tasbih di bawah meja.

“Ah..aku memang bukan ustadz kok...nah kalo dia nih baru pantes disebut ustadz , secara... dia lulusan Libya...anak buah Khadafi...he..he..” canda Nara yang disambut gelak tawa dan sekepal tinju Ziya ke lengan kirinya.

“Ya...sorry tadi aku keasyikan baca nih, dasar buku sialan!” sambung Ziya, sambil membanting buku penuh kontroversi itu ke meja oval panjang marmer putih bercorak hitam tempat mereka duduk berhimpun.

“Eh..buku apaan tuh?” tanya Nara.

“Itu tuh bukunya si Nietzche, si murtad” jawab Ziya sekenanya.

“Oh buku ini toh...menurutku sih biasa-biasa aja, namanya juga manusia. Manusiakan punya hasrat mencari...jadi biasa ajalah namanya juga sebuah pencarian.” Ujar Arka mulai berfilsafat, sambil membolak balik buku merah marun itu.

“Emang kamu udah baca Ka?” tanya Ziya.

“Udah lah...makanya ku bilang biasa-biasa aja. Manusia yang tidak mau mencari kebenaran adalah manusia terbodoh sekaligus manusia termalas yang pernah hidup di dunia ini. Tapi...ah udah ah...ayo pesen...kamu mau pesen apa Run...secara kamu adalah mahluk tercantik diantara 3 perompak ini? ” goda Arka seraya menoleh ke arah Aruna yang sedari tadi diam saja.

Persahabatan mereka adalah persahabatan alam, persahabatan semesta. Persahabatan yang nyaris tak menyisakan sekat. Gudang persahabatan mereka tak menyediakan ruang untuk berputih mata, tak ada tempat bagi ketersinggungan. Persahabatan mereka bagai sungai yang jernih mengalir. Disaat yang satu meriak, yang lain jadi telaga nan tenang menenangkan. Disaat yang satu berlinang yang lain jadi pengusap yang sabar. Sungguh sebuah persahabatan yang teramat langka ada di muka bumi.

“Eh...aneh ya pertemuan kita kemarin, kita genk pas SD, trus pisahan...lama banget...eh...kebetulan ketemu di Farid Esak...aneh ya?” Arka membuyarkan lamunan mereka.

“Iya aneh ya...pas kita pisahan SD kok semuanya tiba-tiba seperti menghilang. Aku nyariin kalian loh...tapi ga ketemu” balas Aruna.

“Ah yang bener...aku sempet ke rumah kamu Run, tapi katanya kamu dah pindah” ungkap Arka.

“Hah..jadi kamu sempet ke rumah aku yang dulu Ka...? “

“Iya...tapi ya itu...kamu dah pindah”

“Iya sih aku pindah ke Arcamanik ke rumah Ibu karena ayahku meninggal ga berapa lama setelah kita pisahan di Ranca Upas.”

“Innalillaahi wa innaailaihi raaji’uun”, seru ketiganya bersamaan. Heningpun menyelimuti Kaliandra yang kedinginan.

“Hei....ga ada kebetulan kale...semua sudah diatur sama Allah..dulu kita ngegenk, terus kita pisahan...nah..kemaren kita dipertemukan lagi...semua itu skenarionya Allah, bukan kebetulan” Ziya tiba-tiba saja memecah keheningan.

“Bisa begitu...tapi bisa juga ga begitu” timpal Arka sang Filsuf.

“Maksud loh...?” tanya Aruna mencoba memecah keheningan jiwanya sendiri.

“Begini Cleopatra...” goda Arka.

“Ah..udah cepetan jelasin” pinta Aruna.

“Ya...yang dibilang ustadz yang ga ngaku ustadz itu bisa bener bisa ga...tergantung persepsi kita tentang peristiwa kebetulan itu apa.”

“Bisa diperjelas bapa Socrates?” goda Nara yang sedari tadi asyik menyimak.

“Kalo dari kacamatanya Machiaveli, kebetulan itu baru bisa “menjadi” kalo ada dua kondisi, yaitu keutamaan dan keberuntungan. Jadi peristiwa kemarin itu bisa jadi takdir Tuhan, atau bisa jadi karena bersinerginya keutamaan dengan keberuntungan kita” papar Arka.

“Hadeuh pusing kalo Socrates dah ngomong...kamu tuh Ka...ga cape apa sejak SD dah demen yang gituan...?” goda Ziya. Arka yang digoda, boro-boro marah, malah membalas dengan tidak kalah sengit.

“Lah kamu ga cape apa, dari kelas 4 SD ngulik majalah FHM[6]...mulu, hobi ko yang gituan...ha..ha..?”, gelak tawa mereka tak tertahankan.

“Udah-udah ah...tuh pesenan dah dateng...makan yuk laper aku.” Potong Nara.

“Waduh tuan guru sufi kita dah kelaperan rupanya?” lagi-lagi Arka menggoda.

“Nah...ini kebetulan yang enak, pas laper hidangan datang...Allah emang mantul...mantap betul...” seru Nara agak norak. “Ketahuilah saudara-saudara, Allah itu Penghitung ulung, semua dalam kesempurnaan perhitungan-Nya. Bayangin dari milyaran manusia penghuni bumi, kita dilahirin hampir bersamaan, trus dipilih Allah buat jadi temen, terus dipisahin lama banget biar kalian semua kangen sama aku, Terus tanpa kita atur, kita dipertemukan lagi kemaren itu...it’s so amazing...Kita ga berbuat apa-apa guys, Tuhan saja yang berbuat!”

“Hadeuh...udahmah panjang pake salah lagi”, umpat Ziya menahan tawa. “Ga semuanya karena maunya Allah juga kali...tapi kita sebagai manusia juga ambil peran.”

“Iya nih...lagian siapa yang kangen sama kamu, yang ada kalian yang kangen sama aku.” gelak Aruna menimpali kepedean Nara.

Sesaat kemudian empat sahabat itu asyik dengan kenikmatan hidangan Kaliandra yang bercandu, yang membuat mereka enggan berhenti walau hanya sejenak. Namun, ditengah keasyikan mereka menyantap makanan yang tersaji di atas meja marmer putih itu, satu tanya tiba-tiba saja menyeruak.

“Eh...guys...masih inget Cleopatra dan Mark Antony?, goda Aruna membangkitkan kenangan kecil mereka yang kocak.

“Ha..ha...ha...inget dong...inget banget”, seru ketiganya hampir bersamaan.

Bersamaan dengan tawa itu, ingatan mereka memasuki lorong waktu. Menelusuri rentang hingga ke masa dini. Kelas 4 SD, saat mereka bermain drama di halaman belakang rumah Aruna yang luas dan asri. Drama yang disutradarai Arka, sutradara gila. Bagaimana tidak? Drama yang dimainkan bukanlah Cinderela, Snow white, atau Sangkuriang, sebagaimana layaknya anak-anak SD, tapi Arka mengangkat kisah tragis Cleopatra dan Mark Antony. Semua itu mungkin berasal dari sumber bacaannya. Anak kelas 4 SD itu rupanya baru saja melalap habis roman cinta Cleopatra dan Mark Antony.

Arka, si jenius dengan kegilaannya, menjadi sutradara sekaligus pemainnya, Octavianus, musuh besar Cleopatra dan Mark Antony. Aruna memerankan Cleopatra, Ziya alias Micha sebagai Julius Caesar, dan Nara sebagai Mark Antony.

“Aku Cleopatra...”, angkuh suara Aruna seraya duduk diatas singgasana yang dibuat dari drum bekas minyak kelapa, dihiasi kain rombeng disekelilingnya, yang diambil dari rumah Mang Indan, tukang jahit ternama di Sukaluyu.

“Wahai rakyat Mesir yang aku cintai, Aku Julius Caesar...suami Ratu kalian...Ratu Cleopatra...” gelegar suara Ziya sambil duduk di sebelah Cleopatra. Aksi yang ditingkahi kekeh Nara dan Aruna. Keduanya tak kuat menahan tawa melihat ekspresi Ziya yang datar bak poker face[7]. Arka sang sutradara membentak keduanya, meski dirinya sendiri sebenarnya sekuat tenaga menahan tawa yang membuncah.

Peran Ziya sebagai Julius Caesar tak bertahan lama, diceritakan ia mati dan posisinya digantikan Mark Antony, alias Nara.

Drama melompat, dan berlanjut...

“Ha..ha..ha...aku Mark Antony, kamu tak akan bisa mengalahkanku Oktavianus...aku dan Ratu Cleopatra terlalu kuat untukmu...sudah pulang sana...”, kata-kata Nara yang terakhir membuat ketiga sahabatnya terpingkal, tak kuat menahan tawa. Tak mungkin seorang Mark Antony berkata “sudah...pulang sana...” seperti adegan Tesi saat manggung di Srimulat.

Adegan berlanjut, Mark Antony beradu pedang bambu dengan Octavianus. Antony jatuh tersungkur diujung pedang Octavianus. Arka, Sang Oktavianus berdiri angkuh seraya berkata,

Lihat selengkapnya