Sore yang berwarna, September seusai hujan, segurat pelangi kanyar-kanyar melukisi pelupuk langit dengan reluk nan eksotik. Samar, meski tak sampai kehilangan cantiknya. Semburat mentari bias putih memudari garis-garis pelangi yang melengkungi langit Bandung. Sepasang kenari hinggap di dahan beringin tua, mesra menghirup sisa air hujan yang disediakan gelas daun beringin. Sesekali si jantan menggoda si betina dengan kicau rayunya yang mempesona. Sementara si betina menimpali dengan cuitan kasik[1] tapi sipu.
Kali ini angin tak ikut serta mewarnai sore . Dia terpaku, bersembunyi di belakang punggung Tangkuban Perahu yang berdiri tegar memaku bumi agar tak berdistorsi. Hari ini angin enggan meniupkan awan sehabis hujan tadi. Dia duduk termenung memperhatikan anak-anak manusia dari ketinggian, sesekali dia tersenyum, sesekali marah, sesekali kecewa dan sesekali menangis menyaksikan drama kehidupan anak manusia yang tak kunjung bijaksana.
Mentari senja bergerak menemui angin dibalik punggung Tangkuban Perahu, Sang angin tak terganggu bahkan dengan hangat, menyambut dan memeluk matahari penuh mesra. Sementara dari kejauhan rembulan monokrom lamat-lamat mulai meninggi, seperti sudah tak sabar menunggu giliran mewarnai langit kota yang masih melembayung. Seperti tak mau ketinggalan sebuah romansa persahabatan , sang bulan putih mengutus senja untuk menguping. Senjapun menyanggupi permintaan bulan, dan ia berjanji untuk bercerita pada bulan saat jingga mulai mengelam kelak. Romansa persahabatan empat anak manusia di rumah Arka yang seperti pemiliknya, unik.
“Eh...gimana Ka, kamu dah bikin ulasan diskusi aku kamaren sama si Niske?”
“Udah...seru sih tapi masih dangkal...kalian berdua masih bermain di permukaan...masih perlu kedalaman...” Ujar Arka tanpa tedeng aling-aling mengkritisi debat Ziya dengan Niske, sambil menyerahkan printout ulasan yang telah dibuatnya kemaren.
Ziya dengan serius membaca dua lembar ulasan sang filsuf. Bibirnya terkadang tersenyum, sesekali geleng-geleng kepala, sesekali mengerutkan dahi, sesekali tertawa sendiri.
“Asem kamu Ka....”
“Hah..asem...?
“Yoi...awesome...”
“Oh...”
“Eh.. apa maksud kalimat kamu yang ini Ka...?
“Yang mana...?”
“Kaum teis harus bekerja keras membuktikan kebenaran klaim lawasnya yang partikularistik-subjektif , yang mengklaim bahwa agama yang dipeluknya adalah satu-satunya yang benar, yang hanya percaya pada satu Tuhan yang Esa dan sejati (one true god)”
“Oh itu...gini Zi.....klaim itu secara faktual historis justru kontraproduktif, klaim itu justru banyak memicu konflik” Arka menghela nafas sejenak. “Sorry Zi...kalau cara kamu berdebat kaya gitu, jadinya kamu kaya kena Dunning Kruger Effect.[2]”
“Hah...apaan tuh Ka?”
“Itu sejenis bias kognitif, dimana kita dihinggapi superioritas ilusi”
“Hadeuh...apaan lagi itu Ka?”
“Superioritas ilusi itu terjadi saat kamu salah menilai kemampuan diri kamu sendiri. Kamu merasa tahu segalanya padahal nggak...kamu merasa selalu benar padahal kamu salah. Intinya kamu merasa kemampuan kamu lebih tinggi dari yang sebenarnya.”
“Oh...tapi aku ga ngerasa gitu ah...”
“Nah...itu salah satu bentuknya Dunning Kruger Effect...he..he..”
“Ah...terserah kamu lah...tapi...bukankah konflik itu sebuah keniscayaan alamiah belaka Ka?, dimanapun selalu ada konflik, kita tidak akan pernah menemukan sebuah entitas yang tanpa konflik didalamnya, bukan?”
“Yoi sih...tapi bukankah agama sendiri yang mengklaim sebagai pemilik cinta universal, sebuah klaim yang secara paradoks justru dimanifestasikan lewat konflik. Inikan ga bener Zi?”
“Ya sih...tapi lagi-lagi kita harus membedakan antara agama dengan perilaku keagamaan, ya kan?”
“Ha..ha..ha...kamu Zi, masih aja berkutat di dalil itu. Gini Zi...”, diselingi seruputan kopi hitam di dalam cangkir tanah kecoklatan. Ziya menunggu dengan gelisah. Selepas satu tegukan, Arka melanjutkan
“Dalam hal pluralitas aku setuju sama si Niske, bahwa pluralitas itu keniscayaan...nah bagaimana mungkin mempertemukan dua hal yang paradoxal begitu...di satu sisi mengklaim bahwa agamanyalah satu-satunya yang benar, sementara faktanya begitu banyak agama lain alias plural, yang juga melakukan klaim yang sama...ya ga kan pernah ketemulah...boro-boro ketemu...yang ada ya pasti konflik...pasti perang...Itu historical Factnya Zi...kamu ga bisa mengelak dari itu.
“Oh..gitu maksudnya, tapi aku sih tetep pada pendapat bahwa adanya konflik bukan berarti kebenaran itu plural...aku sih tetep yakin ada kebenaran tunggal. Adapun konflik adalah bumbu dari sebuah perjuangan untuk meneguhkan kebenaran tunggal itu. Bukankah akal sehat kita menuntun kita untuk percaya bahwa hanya ada satu Tuhan, lantas bagaimana mungkin ada kebenaran plural, sementara kebenaran itu datang dari Tuhan yang satu.”
“Hah...lagi-lagi Tuhan, sebuah nama yang sepanjang sejarah manusia tidak pernah absen untuk dibicarakan”
“Ya Ka... ujung-ujungnya sebenarnya pembicaraan tentang agama akan berujung pada sang Teos...Tuhan.”
“Nah...sementara manusia pintar saja belum bisa menemukan kata sepakat tentang Tuhan apatah lagi mengklaim satu agama saja yang benar. Terus kalau pemahaman kamu tentang agama dan Tuhan begitu hitam putih maka jangan salahkan umat, bila banyak yang menjadikan agama hanya sekedar nostalgia masa kecil dan mengganggap Tuhan sebagai The Perhaps, kaya si Derrida[3]”
Keduanya terdiam sejenak, masing-masing asyik dengan buah renungannya. Hingga Arka kemudian memecah kebuntuan.
“Zi...tapi menurutku mayoritas konflik keagamaan itu disebabkan faktor politik”
“Maksud loh...?”
“Fakta sejarah sebenarnya menunjukan bahwa konflik agama bukan semata diakibatkan oleh faktor ajarannya itu sendiri, namun lebih banyak disebabkan adanya kepentingan-kepentingan politik yang bermain.”
“Tapi...bukankah semua agama, apalagi Islam, memang mensyaratkan kita sebagai umatnya untuk tidak anti terhadap politik. Bahkan kita diperintahkan berpolitik demi kejayaan Islam itu sendiri. “
“Yaa..aku tahu itu...klaim bahwa Islam adalah agama yang paripurna, alias lengkap...meliputi semua unsur kehidupan termasuk politik”
“Nah...tuh kamu tahu Ka...jangan anti politiklah...Ka...jangan-jangan kamu dah ketularan sekularisme ya...? he...he..”