Aruna

kieva aulian
Chapter #6

6. Dan...bidadaripun pergi

“Andaru”, nama yang mereka sepakati untuk NGO yang mereka dirikan. Nama yang dalam bahasa Sunda berarti bunyi atau berbunyi. Seolah ingin menunjukan kepada dunia dan para penghuninya bahwa mereka beserta anak-anak asuhnya berhak untuk bersuara. Bahwa mereka memiliki jatidiri dan eksistensi, sehingga layak untuk mendapatkan tempat dan berperan dalam mewarnai kehidupan.

Andaru adalah rumah kedua mereka. Rumah, tempat mereka mencurahkan waktu, tenaga dan harta untuk menjaga, memelihara dan menuntun anak-anak jalanan sehingga mendapatkan ilmu, pengetahuan, wawasan, keterampilan dan pengalaman kehidupan. Bagi mereka, Islam mesti ditunjukan dengan aksi-aksi nyata tanpa banyak berwacana. Sempat, Arka mengutip perkataan Tan Malaka yang kemudian diamini oleh tiga sahabatnya, Sejuta kata makanan tak akan mengenyangkan

Dengan mengajak anak-anak muda militan nan kreatif, Andaru, yang mereka inisiasi itu, kini berdiri tegak di sebuah lahan milik Ziya, tak jauh dari pesantren binaannya.. Lahan yang lekat dengan suasana pedesaan itu nampak gagah sekaligus asri di tengah rumah-rumah penduduk yang masing-masing berjarak cukup jauh. Bagi mereka Andaru adalah kawah candradimuka bagi anak-anak menghadapi misteri masa depan. Lagi-lagi Arka sempat berucap seraya mengutip Roosevelt Kita tidak selalu bisa membangun masa depan untuk generasi muda, tapi kita dapat membangun generasi muda untuk masa depan. yang lagi-lagi diamini oleh para sahabatnya.

Andaru, adalah bentuk kepedulian mereka atas nasib anak-anak bangsa yang termarjinalisasi secara ekonomi dan pendidikan. Mereka mendirikan sekolah gratis yang dilengkapi dengan balai pelatihan kemandirian ekonomi, demikian mereka menamai upaya pelatihan tersebut. Mulai dari 4 orang hingga sekarang sudah 15 anak mereka didik dan berikan pelatihan agar mereka bisa mandiri secara ekonomi,

Begitulah spirit Andaru, spirit yang tumbuh di tanah desa yang damai. Permadani hijau dihamparkan Tuhan untuk menjadi latar Andaru. Selaur anak sungai nan jernih membelah permadani itu menjadi dua keping persawahan yang terhampar luas sejauh mata memandang. Sungai kecil yang membelah dengan sempurna dua lautan hijau itu bak berita Tuhan dalam lembaran sucinya, “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing”[1].

Anak-anak kecil bermain di aliran sungai, menggemakan percikan air menjadi bulir keceriaan yang dinukil langit. Langit dengan telaten menghimpun percik itu lantas menenunnya menjadi sehelai awan. Awan yang melukiskan keceraian hidup tanpa beban. Sungguh awan keceriaan masa kecil yang memabukan.

Sabtu yang ritmis, gerimis merah jambu memulas langit desa yang tenteram. Momentum terindah sang alam. Sawah masih dengan hijaunya, namun kali ini sudah digelayuti bulir-bulir padi putih hijau. Sesekali angin membuatnya berayun ke utara, sesekali ke selatan. Burung sawah riuh mempermainkan orang-orangan sawah yang geram digoda kegenitan mereka tanpa jeda.

Pelangi kecil malu-malu mengguratkan garis-garisnya di pelupuk langit, merah, hijau, kuning, jingga, tersenyum dibalik pepohon pinus, selatan saung. Mirip gambar pemandangan yang diguratkan tangan naif anak TK yang lugu namun indah. Keindahan yang bukan saja menggetarkan, namun mampu menghadirkan nostalgi yang mengharu biru.

“Ayo anak-anak hebat, siapa yang tahu kisah nabi Musa? Ustadz Lukman meminta santri-santri kecil Andaru berpresensi. Anak-anak hebat adalah kata ikonik Andaru, agar para santri tumbuh kepercayaan diri bahwa diri mereka adalah pribadi-pribadi hebat yang siap mandiri, berinovasi, dan bersinergi untuk menaklukan dunia.

“Saya ustadz...”, Ramli anak yatim piatu berusia 7 tahun itu berdiri seraya mengacungkan jari telunjuknya.

“Oh ... .kamu Ramli, coba kamu ceritain kisah nabi Musa,” ujar ustadz Lukman lembut.

“Nabi Musa itu pawang ular ustadz...!, serunya dengan lantang. Semua anak hebat yang hadir di masjid Andaru terkekeh sekaligus kaget dengan jawaban Ramli.

“Hah...pawang ular, maksud kamu gimana Li?”, tanya Ujang.

“Kata bapakku ... Nabi Musa itu kemana-mana bawa tongkat ... terus kalo Nabi Musa marah tongkatnya dibanting ke tanah ... terus jadi ular ...,” ungkap Ramli tersendat namun penuh percaya diri.

“Oh ... begitu ... terus gimana lagi Li?” ujar ustadz Lukman santun.

“Te ... rus, terus ... euh ... terus....”

“Terus ... terus ... terus ... terus apa Li?” teriak Ilham menggoda Ramli.

“Terus ... terus apa ya ...?” Ramli kehilangan kata.

“Ha..ha..ha...,” seisi ruangan terbahak geli.

“Oh ya terusnya ... aku inget,” Ramli menemukan kata yang sempat hilang tadi.

“Terus ularnya, ular Nabi Musa jadi ular raksasa ... terus ular Fir’aun pada ditelen ularnya Nabi Musa ... gitu!” paparnya , masih dengan keterbataannya namun tetap percaya diri.

“Emangnya ular Nabi Musa itu Naga ya?” tanya Herni, santri wanita paling tomboy.

“Iya bener ... naga,” jawab Ramli.

“Wah ... berarti bisa ngeluarin api dong dari mulutnya?” cerocos Herni.

“Ya ga bisa lah, kan naganya di laut ... dikejar Fir’aun. Mulutnya kemasukan air laut ... jadi apinya mati,” lagi-lagi Ramli dengan kepercayaan diri supernya.

Ustadz Lukman membiarkan drama indah itu terjadi. Ia ingin anak-anak hebat Andaru menjadi anak-anak yang tak takut berpendapat, tak canggung berbicara dan tak marah bila berbeda. Dibiarkannya anak-anak hebat itu berceloteh, berpendapat, berimajinasi.

“Ya ga basahlah, kan lautnya kering ... kan lautnya belah,” tiba-tiba saja Nela yang pendiam, pemalu dan jarang bicara, ikut urun rembuk. Rona Ustadz Lukman berseri melihat pemandangan langka itu. Bahagia melihat Nela yang canggung kini tengah beraksi dengan bernas.

Setelah yakin tak ada lagi yang mau bersulang kata, Ustadz Lukman mulai angkat bicara.

“Anak-anakku yang hebat, Nabi Musa itu manusia pilihan Allah. Karena dia manusia pilihan maka beliau diberi kelebihan oleh Allah berupa mu’jizat. Mu’jizat itu berupa kemampuan merubah tongkat menjadi ular yang besar, ular yang bisa menelan ular-ular yang dikeluarkan tukang-tukang sihir Fir’aun.”

“Ustadz...jadi ular Nabi Musa itu ular naga bukan?” Amin pemulung kecil unjuk tangan. Belum sempat tanya itu dijawab, Herni keburu memberondong dengan pertanyaannya

“Bisa ngeluarin api ga dari mulutnya , ustadz?”

“Begini anak-anak hebat, tidak pernah ada yang tahu apakah ular Nabi Musa itu ular naga atau bukan. Atau apakah dari mulutnya keluar api atau tidak. Lebih penting dari itu semua adalah Nabi Musa memberi kita contoh bahwa kita harus jadi manusia kuat, sehingga bisa melawan kekuatan jahat. Nabi Musa juga memberi kita contoh bahwa kita harus jadi manusia yang pintar sehingga bisa membantah perkataan orang-orang pintar tapi jahat. Selain itu, Nabi Musa juga mengajari kita untuk tidak hanya jadi orang pintar, tapi juga harus jadi orang baik.” jeda sejenak seraya mengambil sejumput oksigen untuk dijejalkan ke paru-parunya yang pengap.

“Anak-anak hebat, jadi kita harus jadi manusia yang ku ... at” Selain itu kita juga harus jadi manusia yang pin ... tar. Terus kita juga harus jadi manusia yang ba ... ik.” diikuti koor polos anak-anak hebat Andaru.

Sementara anak-anak hebat beraksi di masjid Andaru, Ziya dan Arka sudah kurang lebih 15 menit berbincang di saung beranda belakang Andaru. Aruna belum menampakan batang hidungnya. Tak lama kemudian Aruna muncul dengan tergopoh. Ia melewati musholla sebelum bertemu Ziya dan Arka di saung belakang. Saat itu, telinganya samar mendengar rintih menyayat, menderukan jiwa, meluluhlantakan hati. Rintih yang lembut, mendesirkan angin pantai, mengusir gerah dunia yang terbakar angkara. Ditengoknya arah suara itu, ah ... Nara rupanya. Nara yang tengah asyik berbisik dengan Tuhannya.

Ada rasa untuk segera beranjak dan segera bergabung dengan Ziya dan Arka, namun seperti ada kekuatan asing yang memaku jiwanya, menahannya untuk mendengarkan simfoni zikir merdu nan menghanyutkan itu.

Lihat selengkapnya