Seriat masih menggelayuti bentala Bandung Sabtu sore itu. Angin menyeduh awan putih jadi gumpalan hitam, menggelayuti lengan langit yang lelah, bersiap untuk merintiki bumi dengan air kehidupan. Dedaunan pucuk merah menengadah tak sabar menunggu datangnya kafilah rerintik yang sendu. Garengpung[1] meriuhkan gema ke segenap penjuru kota, meresonansi dan lantas membungkus kota dengan kebekuan. Sesekali panah kelodan mencemeti garengpung hingga terdiam sunyi. Tak lama kemudian langit menangis, gerimis.
Aruna masih tertegun di teras rumah asrinya. Rumah di tepian kota Bandung yang termala. Tiga bulan sudah Inara pergi meninggalkannya untuk selamanya. Senda gurau ketiga sahabatnya tidak mampu membangkitkan jiwanya yang telah merepih. Ada kahaf yang menganga di lubuk hatinya. Jiwanya memar ditampar rasa kehilangan. Api amarah masih menyala sirah di palung kalbunya. Jiwanya beku membara.
Aruna mematung. Bumi yang masih setia berputar hanya mampu merayu jantungnya hanya untuk sekedar berdetak, namun bumi tak mampu memincut jiwanya untuk berdesar. Rona telah hilang dari wajah cantiknya. Redup kini menjadi riasan wajahnya yang layu. Sang ibu yang setia menemani, tak mampu melipuri lara Aruna yang membisu.
Kali ini, lamunan mengajaknya menelusuri jejak-jejak hitam pernikahan sirrinya. Sekitar empat tahun yang lalu. Bayang tampan mantan suaminya yang menghitam kelam datang menghampiri. Sosok itu hadir dalam kehidupannya tepat disaat dirinya dilanda gandrung yang teramat pagan. Gandrung pada Islam yang selama ini hanya jadi aksesoris kesehariannya dalam berdiseminasi dengan khalayak saja.
Aruna saat itu, bagaikan anak kecil yang menemukan mainan baru yang teramat disukainya. Hari-harinya adalah hari-hari tentang Islam dan keindahannya. Nyaris tak ada hari tanpa pengajian, dari taklim ke taklim. Folder di laptop putihnya penuh berisi ceramah-ceramah favoritnya. Kanal berbagi, youtube, berisi ceramah ustadz-ustadz kesayangannya setia menemani nyaris setiap jengkal rentang harinya.
Mantra-mantra gaib menjadi penghias bibir yang tak pernah lepas dari bibir tipisnya. Lafadz-lafadz Ilahiah menjadi diksi yang terpilih untuk mengomentari setiap keadaan yang menghampirinya. Begitu fasih, lebih fasih dari manusia Arab, pemilik bahasa resminya. Untaian hikmah bernada dakwah selalu menghiasi lisannya dalam bertutur kata. Tak hanya di dunia nyata, bahkan di dunia mayapun dirinya intens berbagi “kebaikan”. Ibunda tercintanya mencandainya dengan julukan “ustadzah anyar” alias ustadzah baru.
Ia tak segan memberikan saran nasihat kepada siapa saja dengan kata-kata sakral yang dipetiknya dari buku suci. Atau ia sunting dari ceramah ustadz favoritnya. Saat seorang temannya datang membawa kabar duka, maka dengan refleks bibirnya akan menguraikan nasihat-nasihat tentang keutamaan sabar, keutamaan iman. Dunianya saat itu adalah dunia hitam putih. Baginya dermakasi itu teramat jelas membentang antara hitam dan putih. Tak ada kamus samar dalam hidupnya. Tak ada warna abu-abu dalam bentang pikirnya. Semua begitu jelas dan indah.
Beberapa kali ibundanya yang juga salah satu ustadzah di beberapa majelis taklim itu menasihati Aruna untuk berlaku tahap.
“Neng ... Ibu seneng liat kamu sekarang begitu agamis, tapi jujur ibu juga khawatir”
“Loh kok pake khawatir segala sih bu, emang kenapa?”, tanyanya lembut.
“Neng ... menjalankan segala sesuatu itu mesti penuh dengan kesadaran, didasari ilmu yang luas, jangan menjalankan sesuatu dengan nafsu, meskipun kita menjalankan kebaikan sekalipun.” nasihatnya lembut.
“Ehm ... neng belum ngerti maksud Ibu?”
“Neng ... adalah bagus menjadi orang yang taat beragama namun bila kita menjalankannya dengan dilandasi nafsu, emosi, bahkan tanpa nalar, maka sebenarnya kita tidak sedang mengagungkan agama, tapi justru kita sedang merusak agama.”
“Tapi bu ... perasaan... Runa ga gitu deh. Runa tetap kok memilah dan memilih, tetep pake akal sehat, ga cuma pake emosi.”
“Yaa ... syukur kalau kamu begitu, Ibu cuma khawatir kamu melupakan pesan almarhum bapakmu”
“Pesen bapak yang mana Bu?”
“Pesen bapak kamu untuk selalu berhati-hati dalam melangkah, termasuk dalam masalah agama. Kita tetap harus berhati-hati”
“Oh... iya Runa inget kok bu pesan bapak itu, tapi maksud ibu berhati-hati dalam masalah agama itu apa bu?”
“Neng... agama kita itu begitu luas, itu salah satu pertanda bahwa rahmat Allah itu begitu luas pada kita hamba-hambaNya,” hening sejenak, kenangan bersama almarhum suaminya sekelebatan muncul.
“Begitu luasnya, hingga meniscayakan adanya berbagai pendapat yang sangat mungkin berbeda. Jangan mudah mengklaim kebenaran dan jangan apriori dengan perbedaan. Maaf ya neng...bukan ibu mau menggurui. Ibu perhatikan kamu begitu gandrung pada ustadz-ustadz favorit kamu itu...tolong nak...jangan lupakan bahwa banyak ustadz-ustadz lain yang mungkin berbeda pendapat dengan ustadz-ustadz favoritmu itu.” tetap dengan kelembutannya yang sejuk.