Posesif adalah sebuah kelamkabut berpikir anak manusia. Dari rahimnya kemudian lahirlah rasa kehilangan. Rasa yang tidak sepatutnya kita miliki. Kita memang tak tahu diri, hingga Coelho bertutur, Seseorang yang pernah kehilangan sesuatu yang ia kira adalah miliknya selamanya, pada akhirnya akan menyadari bahwa tak ada satu pun di dunia ini yang benar-benar menjadi miliknya. Demikianlah, sahihnya manusia tak memiliki apa-apa, sehingga tak layaklah kata “milik” disematkan didadanya. Apa yang nampak dimata sebagai miliknya ternyata imagi belaka.
Suka tidak suka, sudah suratan, manusia tercipta sebagai mahluk neit eigendom, ketiadaan kepemilikan. Semua milik Allah, sehingga kapanpun Allah mau mengambilnya, kan terambilah semuanya, seketika itu juga. Tak ada satu tanganpun yang mampu menahannya, tak ada waktu yang bisa disogok dengan rayuan. Para malaikat petugas tunduk sepenuh patuh pada Sang Maha Kehendak. Sungguh...kita hidup dalam genggamannya, sempurna.
Pasrah, adalah kata dan sikap terpantas untuk menghadapi kehendak-Nya. Adapun air mata dan rintih pedih hanyalah kelebat interupsi untuk sekedar mendramatisasi suasana. Air mata dan rintih pedih, keduanya ada, semata agar lembar puisi di buku kehidupan kita tak lompong. Agar lagu di album kehidupan kita tak terlampau parau. Pasrah adalah selimut waktu untuk segenap ikhtiar dan doa yang dipersembahkan.
Begitupun Aruna, kini gunung es jiwanya perlahan sabak merembah. Perjumpaan dengan Inara di mimpinya, membekaskan kesan mendalam di jiwanya. Perlahan tapi pasti rasa kehilangan yang menganga di jiwanyapun memulih. Meski masih berat memalingkan muka dari masa lalu, namun cahaya cinta Inara mampu menuntunnya berjalan. Berjalan menelusuri lorong masa depannya meski teringsut bahkan kadang terkarut.
Matahari, dibalik lengan Manglayang, mengintip sang fajar, sang fajar yang lapang menampung gelap dan cahaya sekaligus. Semburat oranye memulas timur langit Bandung. Kuning bias oranye mesra melukis langit dengan siluet silau yang begitu indah.
Sang Fajar, tahu diri, tanpa pamit ia segera berlalu, entah malu, entah takut terbakar panas sang mentari. Kelabu cahaya punggungnya, gontai meninggalkan satu lagi kenangan malam. Perlahan, ia pulang menghilang. Seperti tak mau bertatap mentari, ia tidak memilih Manglayang, ia memilih Burangrang untuk rehat.
Sabtu pagi , saat bumi mulai menggeliat. Matahari mengintip ke langit lengang, berharap tak ada saingan, agar ia bersinar sendirian, seolah mengajari manusia agar tak mendua cinta. Ke empat sahabat itu berangkat dengan menggunakan jeep Arka. Tak butuh waktu lama perjalanan dari Arcamanik menuju Ranca Upas hanya memakan waktu 2 jam untuk menempuh jarak 57 km.
Ajakan Arka untuk mengurai kembali benang memori Ranca Upas, menumbuhkan semangat hidup Aruna. Yaa ... mereka berempat bersepakat untuk menapaktilasi jejak langkah kecil mereka dulu di Ranca Upas. Mereka bersepakat untuk mengulang masa lalu, siapa tahu mereka berhasil menemukan ‘dejavu’ yang indah.
Masih Ranca Upas yang dulu, sejuk dan hijau. Kawasan hutan lindung yang masih terjaga. Berada di ketinggian 1.700 m diatas permukaan laut memberikan rasa dingin di selaput kulit manusia. Suhu antara 16 sampai 19° Celcius, membuat jaket tebal mereka seperti sehelai tisue. Angin gunung membekukan tubuh-tubuh panas manusia kota. Menggigil namun nikmat. Paru-paru mereka rakus menghirup segarnya udara sembari sibuk menghembuskan pengapnya udara kota yang telah lama memenuhi rongga paru-paru mereka. Hingga, lapanglah hawa, segarlah jiwa. Sesekali angin bertiup cukup kencang bukan untuk menggoyangkan daun dan dedahanan tapi menguji sejauh mana kekuatan akar, begitu Ali bin Abi Thalib pernah bertutur.
Empat pasang mata itu, seperti takut tak kebagian, berebut saling sikut mencerap setiap sudut indah Ranca Upas. Sepanjang mata memandang adalah hijau. Vegetasi hijau yang didominasi flora khas hutan tropis primer dan sekunder. Hijau yang menenteramkan jiwa yang gundah. Hijau yang meredupkan amarah yang membuncah. Hijau yang mengurai benang jiwa yang kusut digulung kejenuhan. Hijau yang diseduh dengan dinginnya udara gunung, sungguh menjadi secangkir minuman ternikmat.
Tak jauh dari tempat mereka berdiri, Gunung Patuha gagah berdiri tegap memaku bumi. Jemari puncaknya menggapai-gapai langit diiringi sejumput liturgi yang menawan. Sementara Jemari kakinya menancap kuat di akar bumi, memberikan ketenangan pada anak-anak kehidupan, disaat sang bumi hebat mengguncang.
Yaa masih seperti dulu, puluhan rusa menyambut mereka, sama ketika enam belas tahun lalu, ketika tubuh-tubuh kecil mereka berkunjung selepas kabur dari sekolah.
Dikejauhan, mengkahaf kawah Rengganis hasil letusan Gunung Sunda Purba jutaan tahun yang lalu, uapnya mengepul menggoda. Tak ketinggalan Air Panas Cimanggu dan Ciwalinipun merayu mereka dengan bau belerang yang mengundang kenangan..
Mereka berdiri tertegun, tak ada satupun kata yang terlontar. Masing-masing mabuk dengan nostalginya sendiri-sendiri. Hening, angin Ranca Upaspun tak berani bersuara, mereka hanya berbisik lembut, menyentuh kedalaman jiwa mereka. Membisikan kenangan indah yang kini kembali mereka rasakan. Seperti mimpi, mereka bisa kembali menghirup angin Ranca Upas secara bersamaan, persis enam belas tahun lalu.
Tak ada hujan atau gerimis, hanya selaksa air mata menggelayut di sudut-sudut mata, dingin mengalirkan kebahagiaan ke sungai hati mereka. Mengalir melewati lekukan pipi mereka sebelum akhirnya bermuara di sudut-sudut jiwa mereka yang merindu. Sungguh ‘dejavu’ yang membuai. Tuak alam yang memabukan, yang tak pernah henti meminta untuk diteguk gelas demi gelas.
“Kau merajangku di perapian cintaMu
Menyeduh jiwaku dengan angin gunung
Hingga leburku dalam ketiadaan
Aku tiada...Engkau Ada”
Bak Halajj, Nara tiba-tiba berpuisi memecah gunung sepi. Ketiga sahabatnya menatapnya dengan hangat. Nara, dengan tangan terbuka berdiri diatas sebuah batu gunung besar, dan kembali berpuisi
“Terbakar aku oleh dinginnya salju cintaMu
Meradang aku mereguk cawan rinduMu
Bergelegak hingga mabuk
Mabuk cintaMu duhai....”
Kembali ketiganya hangat menyimak puisi Nara. Mereka mengerti betul siapa Nara sekarang. Nara yang sedang mabuk, mabuk cinta. Tak terlintas sedikitpun di hati mereka untuk mengusik kemasyukan Nara.
“Hei...gimana puisiku...jelekkan?” Nara membuka pagelaran cinta di hutan Ranca Upas Pagi itu.
“Yaa...jelek...” goda Ziya.
“Ah...menurutku ga jelek-jelek amat sih....tapi...ehm....jelek banget..ha...ha...ha..” usil Arka seperti biasa.
“Weiy..jangan gitu Ka...kasian Bang Mansur kita dong” sela Ziya.