Aruna

kieva aulian
Chapter #9

9. Kuebiko Nara

Semesta tak pernah henti berkonspirasi dalam bentang waktu. Lewat tangan Sang Khalik, semesta menciptakan episode sebanyak angka manusia di setiap detaknya. Episode yang selalu tak sama. Tak pernah ada episode yang sama, selalu berbeda. Tak ada fajar yang sama, pagi yang sama, terik yang sama, sore, senja, malam hingga dini hari yang sama. Semua selalu berubah. Perubahan yang jadi bayang roda kehidupan, berputar tanpa rehat. Sebuah sistem maha kompleks yang hanya bisa menjadi bila ada tangan Maha Kuasa yang memutarnya.

 Bak Tanura Rumi, sebagian manusia berputar melawan arah jarum jam. Sebuah arah gerak yang tak lazim, namun sejatinya, justru itulah arah gerak fitrah (natural clokcwise[1]). Sebagian lain berputar mengikuti arah jarum jam (clockwise[2]) seolah-olah mengikuti fitrah, padahal sejatinya mereka tengah berputar melawan fitrah kehidupan. Kanan ke kiri adalah arah fitrah, begitu kata Harist Abu Ukasyah[3] saat membuat jam dinding Hijriyah Solar sistem ciptaannya.

Para clockwiser berlomba menciptakan dunia paradoksal. Dunia serba terbalik. Para pria gemulai kehilangan bahaduri, kehilangan bagasnya, sementara para wanita begitu takah dan garang kehilangan anggunnya. Di lain pihak, para Tanura mabuk dalam kembara sunyinya yang menghanyutkan.

Sang waktu, dengan hangat, setia menyelimuti kehidupan anak manusia. Menemani dunia bergerak menghampiri titik kemunca sebagai penanda akhir zaman. Namun hangatnya sang waktu begitu memabukan, hingga lupalah anak manusia bahwa dirinya telah renta. Demikian akut gelimpang waktu menengelamkan rasa, hingga renta menjadi tak terasa. Lebih jentaka lagi, kerentaan tak diiringi kedewasaan, maka mengecambahlah manusia-manusia tua yang renik berenang di lautan kehidupan

. Manusia renik yang teralienasi dari kesejatian makna hidup dan kehidupan. Transendensi terpisah dengan imanensi. Budaya, agama dan nilai-nilai luhur hanyalah seperangkat kedok untuk mendapat pengakuan sesama. Di tangan manusia renik, agama kehilangan kewibawaan. Agama jadi paradoks, makin tekun dia beritual makin jauhlah ia dari Tuhan. Lidah manusia renik berada didepan hatinya. Tutur katanya indah namun berpunggung dengan laku nyata kesehariannya.

Di tangan manusia renik pulalah, agama hanya menjadi indah di lidah dan ujung jempol sahaja. Sebagian pengaku guru, asyik berlayar di kanal-kanal berwarna yang menawarkan lezatnya popularitas. Mereka asyik mempertontonkan ketinggian ilmunya, kebijaksanaannya kepada khalayak, yang justru , sadar atau tidak semakin menjauhkan umat dari esensi agamanya. 

Bagi para pengaku awam, agama menjadi hanya sekedar alat berbagi, sekedar alat update status di media sosial. Mereka asyik berbagi namun lupa untuk bercermin. Mereka tak perduli, apakah yang mereka bagi sudah menjadi bagian dari dirinya atau belum. Sungguh miris menatap agama digenggam manusia-manusia renik yang justru kini kian menjamur.

Manusia-manusia renik mencumbui sang waktu dengan rabung Bagi manusia-manusia renik, sedih, gembira , tawa, tangis, suka dan duka tak lebih dari sekedar infiks atas sejarah panjang bernama umur. Dunia renta, manusia perlahan menua, namun peradaban tak kunjung dewasa.

Tak seperti manusia renik, manusia dewasa mampu memetik sari dari bunga-bunga kehidupan. Memunguti remah hikmah yang terserak di tanah kehidupan. Begitupun Aruna...sang waktu telah menuntunnya untuk dapat memetik sari bunga dan memunguti remah hikmah atas segala duka yang sempat hadir di jiwanya. Sari bunga kehidupan yang membuat dirinya mampu melupakan derita yang sempat menganga mengkahafi jiwanya. Tak lama, sekitar 3 bulan sejak mekarnya cinta Aruna dan Ziya di kaki gunung patuha, keduanya bersepakat untuk membuhul cinta mereka dalam satu ikatan halal bernama pernikahan.

Bukan hal yang mudah bagi mereka untuk memutuskan penyatuan itu, terutama bagi Aruna. Baginya, mengikat diri dalam pernikahan dengan Ziya berarti melepas ikrar persahabatan mereka dan menggantinya dengan ikrar suami istri, sungguh dua dunia yang berbeda. Dia ingin menyembat Ziya ke dalam pelukan jiwanya sebagai suami sahnya, namun ia takut kehilangan sosok Ziya yang lain, sosok Ziya sebagai seorang sahabat sejatinya. Tak hanya Aruna, Ziyapun mengalami mamihlapinatapei , kecanggungan dari sahabat menjadi cinta, namun kesungguhan cinta mampu melabrak keraguannya itu.

Keraguan sempat menyerimpung jiwa Aruna yang rapuh, namun Ziya yang gigih mampu meyakinkannya. Terngiang suara Ziya saat meyakinkan dirinya untuk menerima cintanya dalam ikatan pernikahan.

“Runa...percayalah, tak akan ada yang berubah, meskipun kamu jadi istriku, aku akan tetap jadi sahabatmu. Runa...percayalah...justru dengan kita menikah persahabatan kita akan semakin indah, persahabatan yang dilandasi cinta Ilahi adalah suatu anugerah yang tak terperikan...percayalah Run...”

Akhirnya Arunapun luluh. Berita gembira itu akan mereka sampaikan pada dua sahabatnya dengan merancang sebuah kejutan. Keduanya bersepakat merancang sebuah drama. Dalam rencana mereka, Aruna akan memberitahukan Arka dan Nara, bahwa tiba-tiba saja Ziya pergi tanpa pamit. Disaat keduanya panik, disaat itulah Ziya akan muncul dengan membawa sepasang cincin. Ziya akan melamar Aruna di depan kedua sahabatnya. Mereka yakin itu akan menjadi kejutan indah bagi persahabatan mereka.

Hari yang dinanti tiba. Aruna dengan meyakinkan memberi kabar Arka dan Nara bahwa Ziya tiba-tiba pergi tanpa pamit. Kepanikanpun melanda Cafe Kaliandra. Ketiganya kebingungan dengan kepergian Ziya yang teramat tiba-tiba. Setelah setengah kepanikan reda, merekapun bersepakat untuk pergi ke rumah Ziya dan bertanya pada adiknya Ridho. Namun disaat ketiganya akan beranjak dari meja coklat Cafe Kaliandra, Ziya muncul dengan wajah berseri. Di tangannya sebuah kotak beludru berwarna merah tua turut menyemaraki keceriaan wajahnya. Termangu Nara dan Arka menyaksikan kehadiran Ziya yang tiba-tiba.

Seperti yang telah direncanakan, Bak Harry yang melamar sahabatnya Sally dalam film romantis “When Harry Met Sally”. Tiba-tiba Ziya sang ustadz berlutut dihadapan Aruna dan dengan tegas namun lembut meminta Aruna untuk menerima lamarannya dan memintanya untuk menjadi istrinya. Dengan wajah penuh haru Aruna pun menganggukan kepalanya tanda setuju, setelah terdiam beberapa saat. Dua bola matanya asyik melirik ekspresi Arka dan Nara. Ada yang aneh dengan ekspresi kedua sahabatnya itu, tak nampak aura kebahagiaan di mata mereka.

Prank pun usai, sebuah teriakan Ziya memecah kebuntuan.

“Surprise...aku ga kemana-mana, kami bakal nikah secepatnya...!”

Sunyi...tak ada ekspresi bahagia...tak ada tepuk tangan...tak ada peluk hangat. Nara dan Arka terpaku di tempat duduknya masing-masing.

“Hei...kalian kenapa sih...ga seneng ya aku masih disini, apa kalian seneng aku ngilang gitu aja entah kemana?” sungut Ziya agak tersinggung dengan sikap kedua sahabatnya itu. Begitu juga dengan Aruna yang kecewa karena merasa rencananya membuat kejutan gagal total.

“Eh...selamat....selamat....Run....Zi....” teriak Nara sambil menghambur memeluk tubuh tegap Ziya yang membatu.

“Selamat...selamat...aku ikut seneng Zi...” masih dengan pelukan hangatnya, di sela lengan tegap Ziya, kepalanya menengok Aruna, “Selamat Run...aku ikut seneng...”

“Oh...makasih Ra...aku pikir kamu ga suka aku mau nikah sama Aruna.” Rengek Ziya. Seraya perlahan melepas pelukannya, Nara dengan norak berteriak,

“Surprise kalian berdua kena prank...” sambil kaki kirinya menginjak pelan kaki Arka yang masih tetap membatu.

“Oh ya...selamat...kalian kena prank kita...ha..ha...kesel kan he..he...” tiba-tiba saja Arka berteriak sembari segera memeluk sahabatnya Ziya dengan hangat.

Lihat selengkapnya