Aruna

kieva aulian
Chapter #10

10. Telusur Cinta di Benua Biru

Bila buku adalah jendela dunia, lantas bagaimana dengan dunia adalah buku?”. Tengoklah St. Augustine ketika berucap The world is a book and those who do not travel read only one page. — Dunia adalah sebuah buku dan mereka yang tidak bepergian berarti hanya membaca satu halaman. Traveling adalah upaya membaca yang dilakukan anak manusia, halaman demi halaman dari sebuah buku bernama, dunia.

Begitu luas dunia menghampar, begitu tebal buku dunia tersaji. Pertanyaannya adalah, sudah berapa lembar yang kita baca, yang kita sudah jelajahi. Khatam atas buku dunia melahirkan kerendahan hati, karena di epilog buku itu, yang akan didapatinya adalah “self smallness”, kekerdilan diri. Bahkan tak hanya di ujung buku, tapi di setiap lembarnya, dia akan menemukan SS.

Keangkuhan justru lazimnya dimiliki oleh para pemalas. Malas membaca, malas menjelajah, malas merubah stand point, malas mencoba ragam perspektif, malas keluar dari comfort zone. Para pemalas acap kali menjelma menjadi manusia-manusia keras kepala yang merasa yakin bahwa dirinya adalah jelmaan Aletheia, dewa kebenaran, kejujuran dan ketulusan. Pun, para pemalas acapkali merasa dirinya adalah pemuja “The True God”, Tuhan yang benar, tanpa memadankan dengan Tuhan-tuhan yang lain. Para pemalas merasa cukup dengan apa yang diajarkan moyangnya atau guru idolanya. Mereka takut dengan sematan-sematan seram bila harus sekedar mempelajari pikiran the others.

Bagai belalang yang dibesarkan dalam kotak korek api, baginya dunia itu begitu kecil, begitu sempit. Kalaupun ada kebenaran, maka kebenarannya hanya sebatas kotak korek api, karena cakrawalanya tak lebih dari kotak korek api.. Tanpa sadar, sang belalang merasa dirinya begitu besar, begitu benar. Ia enggan keluar dari kotak kenyamanannya. Ia takut dengan angin dunia diluar penjara kotaknya. Sementara belalang travelers dia melompat, menjelajah dunia dengan riang gembira. Baginya dunia dan cakrawalanya begitu jelah. Dengan penuh kesadaran, dia mengakui kekerdilan dirinya, kekatikan kebenarannya.

Itenerary Aruna yang berisi rencana menelusuri jejak-jejak Risalah Islam di dataran Eropa telah usai ditulis. Ia ingin seperti belalang travelers. Ia ingin melompat, menjelajah halaman demi halaman buku dunia. Ia ingin keluar dari kotak korek apinya.

Ziya suami barunya, ikut saja dengan rencana bulan madu yang dibuat istri tercintanya, sekalian menelusuri sejarah peradaban Islam di belahan bumi Eropa. Hanya berbekal hasil searching di channel youtube seorang travelers, Aruna mengajak Ziya berpetualang, menelusuri pengalaman baru, menapaki jejak-jejak Risalah Tuhan di tanah Eropa.

Senin, jam lima sore mereka mendarat di Bandara udara Rotterdam yang dulu dikenal dengan nama Rotterdam The Hague Airport Vligveld Zestienhoven. Meski mulai memasuki musim panas dan matahari masih menemani dengan cukup terik, tetapi hawa dingin tetap merasuki tubuh-tubuh manusia metropolis Rotterdam. Mantel tebal masih menghiasi pakaian orang-orang yang wara wiri ke sana kemari.

Mereka mendarat di kota pelabuhan nan indah itu dengan penuh cinta meski kelelahan tak bisa menutupi rona ceria mereka. Segera saja dengan menggunakan mobil sewaan mereka menuju hotel tempat mereka menginap, hotel Van Walsum. Destinasi mereka di Rotterdam adalah Masjid Essalam.

Tanpa menunggu lusa, esok harinya, masih dengan mobil sewaan, mereka menuju landmark bersejarah Belanda, Masjid Essalam. Sepanjang jalan menuju Essalam, kincir angin di kanan kiri jalan seperti tak ada habisnya menghiasi pemandangan nan indah. Bukan kincir “gemuk” seperti yang sering dilihat di iklan TV dulu. Kincir angin kekinian di Rotterdam adalah kincir angin “kurus” hasil modifikasi teknologi.

Sebelum menuju destinasi utama, meski sepintas mereka melewati beberapa ikon Rotterdam. Jembatan nan indah Erasmus Bridge atau orang Belanda menyebutnya Erasmurbrug. Jembatan kabel pancang dari bascule itu menghubungkan bagian utara dengan selatan kota Rotterdam. Keindahan dan kecanggihan jembatan itu membuat mereka berdecak kagum. Puas menikmati pemandangan indah itu mereka melanjutkan ke sebuah destinasi yang membuat mereka sangat penasaran karena keunikannya, Cubic House.

Tak terasa mereka sudah memasuki Overblaak Street, dari kejauhan tampak rumah-rumah kubus seperti hutan, hutan rumah berbentuk kubus. Ada 38 kubus kecil dan dua yang disebut “super kubus” dan semuanya melekat satu sama lain.

Selepas Cubic House, tak berapa lama, mereka pun tiba di destinasi utama mereka, Essalam. Dua menara menjulang sekitar 50 meter menyambut kedatangan mereka. Essalam begitu megah berdiri tegak dihadapan mereka. Masjid yang dalam proses pendiriannya menghadapi banyak tantangan dari berbagai kalangan itu dan baru bisa diresmikan tahun 2010 itu tampil eksotik. Masjid empat lantai ini memadukan arsitektur masjid Nabawi dengan gaya Mamluk Mesir. Perpaduan yang melahirkan kemegahan dibalut keindahan.

Lihat selengkapnya