Aruna

kieva aulian
Chapter #11

11. Kota Sang Nabi

Matahari membakar kota Sang Nabi , Kota Suci Madinah Al Munawarah. Terik yang jauh dari kata ramah, paling tidak menurut Aruna.. Beringsang Madinah adalah elusif[1] metropolis yang mampu memandikan Aruna dengan keringat bahkan acap kali memandikan jiwanya dengan air mata.

Hari itu tepat 3 bulan 11 hari, Aruna mendampingi Ziya melanjutkan studi S3nya di Universitas Madinah. Dengan perjuangan keras dan bantuan dari Syaikh Sulaiman, Profesor yang dikenalnya sejak ia kuliah di Libya, akhirnya Ziya berhasil menggapai cita-citanya, ia diterima di Universitas Madinah dengan beasiswa penuh dari pihak universitas. Wihdah[2] nan indah yang berada di komplek Robwah menjadi tempat pengantin baru Ziya dan Aruna selama mereka tinggal di Madinah, setelah perjalanan indah mereka di benua biru. Wihdah di luar kampus itu tak jauh dari masjid sang Nabi, Masjid Nabawi. Sungguh anugerah yang luar biasa bagi keduanya..

Juli, pertengahan bulan, kemarau di titik kemuncanya. Suhu sekitar 49 derajat celcius. Jarum jam menunjukan pukul 17.30 waktu Arab Saudi. Terik menjilat-jilat kulit kehidupan. Aruna terbakar, jeritnya pada Sang Jabar adalah permohonan untuk datangnya air langit.

Seperti mendengar jeritan itu, Tuhan mengutus Mikail untuk meniupkan pawana[3] si pengepul air, lantas menggelayuti lelangit kota dengan mendung untuk kemudian menumpahkan rahmat ke tanah yang mensejarah itu. Kota sang Nabipun kuyup. Aruna kembali berseri.

Hari-hari Aruna menemani Ziya melanjutkan studi S3nya di Universitas Madinah, menjadi salah satu ujian terberat baginya sebagai seorang istri. Betapa tidak, seringkali kesendirian menyerimpungnya dan memenjara jiwanya dalam Wihdah. Ikhtiar syukur senantiasa ia hadirkan untuk mengimbangi kebosanan dan kesendirian. Jauh di lubuk hatinya ia pancangkan sebuah niat untuk berbakti pada suami tercintanya. Ia berikrar untuk setia menemani suaminya kemanapun semesta membawanya.

Berita diterimanya permohonan beasiswa Ziya didapatkan tepat dua bulan setelah resepsi pernikahan sederhana mereka digelar. Hal yang menggembirakan sekaligus mengejutkan mereka berdua, terutama Aruna. Enggan sebenarnya dia meninggalkan kota tercinta yang telah begitu banyak melukiskan sejarah dalam hidupnya, namun baktinya pada suami, memaksa dia untuk melambaikan tangan jiwanya pada kota tercinta. Demi baktinya pada suami, ia pun rela berpanas-panas dengan matahari Madinah yang menggigit hingga menorehkan telau kehitaman di kulit putihnya..

Dua bulan pertama merupakan saat-saat terberat dalam proses transisi Aruna berkutat dengan kota sang Nabi yang beringsang. Hampir setiap hari air matanya tumpah ruah menghujani tanah Madinah, terutama saat teringat kota cintanya Bandung dan ibunda serta pusara Inara, putri tercintanya. Namun ringan tangan pertolongan Syaikh Sulaiman yang selalu hadir tanpa diminta, sungguh teramat membantu Aruna melewati masa-masa sulit.

Satu lagi hal yang mampu meredam gejolak rindunya pada kampung halaman adalah pesona cinta yang ditawarkan masjid sang Nabi, terutama di saat shalat lima waktu tiba. Rayuan masjid suci itu begitu memikatnya. Melupakan segenap kerinduan yang menggelegak. Sejuk damai rumah Allah itu begitu meneduhkan.

Aruna yang terserimpung kesendirian menyadari bahwa dia membutuhkan teman. Ia tak memiliki seorang handai pun disana. Istri-istri teman Ziya yang juga tinggal di kompleks Robwah tak ada satupun yang sebati sehaluan. Sikap mereka begitu tertutup, tegur sapa bila bersua tak lebih dari sekedar basa-basi yang basi. Memang ada Arka, tapi dia nun jauh disana. Ada Ziya suaminya, tapi suaminya teramat sibuk dengan semua tetek bengek urusan kuliahnya. Bagi Aruna, dunia tanpa sekutu adalah piatu, hidup tanpa ibu. Sebongkah harap serta merta ia pintakan pada Sang Mujib, ia meminta seorang sahabat baru untuk menemaninya di Kota Cahaya, kota suci, Kota Nabi, Madinah Al Munawarrah.

Lamunannya melayang nun jauh keseberang bumi sana, tanah kuburan Inara. Kerinduan kembali menggelayuti jiwanya yang paradoks. Air matanya kembali menetes. Lamunannya kemudian beralih ke sosok Arka, sosok yang coba menghiburnya saat terhanyut sedih di Bandara Soeta sesaat sebelum kepergiannya ke tanah Madinah.

“Run ... kita harus belajar dari matahari dan bulan, mereka tetap bersahabat meski tak pernah bersama. So...jangan cengeng gitu dong...keep smile and remember that I allways beside you...in here...” ucap Arka sambil mengangkat ibu jari dan kelingking kanannya yang kemudian ia tempelkan di telinga kanannya membentuk simbol handphone.

Sesungging senyum menghiasi bibir tipisnya yang tadi sempat meredup. Segera saja diraihnya gadget kesayangannya, dan contact Arkapun dipilihnya dan segera mereka berpilin dalam cakap persahabatan yang hangat.

“Wei...Run...kamu tahu kan aku penggemar Koes Plus sejati?”

“Yaa aku tahulah...dari dulu lagu yang kamu dengerin kan emang cuma itu...eh..emang ga bosen Ka,? apa nggak pengen dengerin lagu lain gitu?”

“Oh...tidak...Koesplus itu darahku, ga bakalan kucampur dengan darah yang lain.”

“Hadeuh segitunya Ka? lagian jadul banget sih...”

“Jadul tapi keren kan?,...Run...bagiku musik itu Koesplus, Koesplus itu musik...titik.”

“Wuih dasar maniak...eh..tapi emang ada apa sih?”

“Seperti lagunya koesplus, Diana, aku bener-bener ngalaminya Run”

“Hah...maksud kamu, kamu beneran jatuh cinta sama si Diana, trus si paman petani marah gitu?”

“Yoi...tuh kamu tahu”

“Wah...kok kaya sinetron ya...?”

“Heueuh....kaya FTV Run...judulnya “Cinta Seorang Anak Petani Yang Kelojotan Karena Tidak Mendapat Restu Bapaknya” ha..ha..”

“Emang dia sampe kelojotan gitu Ka...?”

“Ha..ha...kayanya mau tau banget neh...?”

“Ya Ka...aku jadi kepo nih...ceritain dong...”

“Belum lama sih aku kenal dia, Diana anak paman petani itu, dan kamu harus tahu...Diana itu cinta pertamaku”

“Cie...Andika Pratama dong...?”

“Hah...Andika Pratama...?”

“Iya...Anda dikarunia cinta pertama..ha..ha...”

“Ha..ha...bisa aja kamu Run. Diana itu cewek yang susah banget aku deketin, tapi akusih Petra Sihombing aja...” timpal Arka mencoba mengimbangi keisengan Aruna.

“Hah...apaan Petra Sihombing...?”

“Pepet tanpa ragu sampai dia terombang-ambing...ha...ha...”

“Ha..ha...bales ni yeh..., trus...trus...”

“Ya...trus akhirnya dia mau”

“Trus...trus...”

“Trus akhinya aku nekad dateng ke rumahnya, maksudnya buat kenalan sama keluarganya.”

Lihat selengkapnya