Langit memuram, matahari sesaat lagi akan jatuh.. Senja masih setia berjaga di perbatasan. Ia menjaga agar gelap tak rakus menelan sore. Pun, agar sore tak lupa waktu untuk rehat. Perlahan, temaram merayap, mengunyah bayang bumi cecah demi cecah. Mambang kuning perlahan membias kelabu. Hummingbird Costa[1] mulai bermati suri, denyut jatungnya melambat hingga 50 denyut per menit. Ia lelah seharian mencari makan, seraya menghindari terik gurun dibalik semak belukar.
Kering angin gurun, meniupkan partikel pasir ke paru-paru kota. Sebagian menghinggapi atap-atap rumah penduduk. Sebagian lain teronggok di kaki-kaki dinding bangunan kota. Sebagian lainnya hinggap di pelepah-pelepah kurma, pohon yang konon berasal dari tanah Persia.
Kurma, pohon bermahkota itu kukuh meski angin gurun terus menghantamnya. Seakan tak perduli, pohon berakar tunggal itu asyik merumpun di dua tiga batangnya. Rumpun yang memberi kekuatan ia untuk hidup di tengah terik dan derasnya gempuran angin gurun. Tak lupa ia menyiapkan duri tajam di pangkal daunnya, mungkin untuk berjaga-jaga agar dirinya tak diganggu ganas para predator.
Aruna menapaki senja dengan langkah terburu-buru. Ia takut keburu disergap gelap. Aruna dan sekeranjang buku yang baru saja dibelinya di toko kitab dekat kampus Universitas Madinah, setengah berlari memburu waktu. Baginya, buku menjadi teman pengusir sepi yang efektif. Buku adalah teman yang tak pernah kecewa apalagi marah. Buku adalah sekutu yang tak pernah cemburu. Buku adalah sahabat sunyi, dia tak pernah cerewet berkomentar. Selain itu, buku adalah pedagog[2] yang memberi manusia pengetahuan. Buku adalah kawan yang membukakan jendela wawasan kita di pagi hari, hingga kita bisa menghirup udara segar pengetahuan dan meresapi hangatnya mentari ilmu hingga ke tulang dengan seksama..
Begitulah, hari-hari belakangan, buku menjadi teman setia Aruna merayapi waktu. Langit temaram, matahari mulai bersembunyi. Remang jalanan, meski binar lampu jalan membiasi remang dengan putih-putih cahaya.
Langkah Aruna tergopoh tak minat menikmati senja jalanan kota sang Nabi. Tergopoh karena mengejar waktu, namun juga tergopoh karena sedari tadi, sejak ia memasuki toko kitab itu, ia merasakan Spotlight Effect, ia merasa diawasi seseorang. Perasaan yang dia tepis dengan menganggap itu sebagai ilusi setelah ia membaca komik Detektif Conan favoritnya kemarin sore.
Lorong jalan menyempit, kelokan ke kiri menuju wihdahnya, kurang dari 300 meter ke pintu wihdah. Sesaat Aruna berbelok, tiba-tiba sepasang tangan kekar menangkapnya, membekapnya hingga tak mampu tuk sekedar berbisik. Sekeranjang buku itu pun terserak di jalanan lorong sempit. Halaman demi halaman buku-buku itu berkibar ditiup angin gurun yang mulai mengganas. Rupanya sebentar lagi badai tiba.
Tubuh Aruna diseret tanpa daya, ditarik ke sebuah mobil pick up berkaca film hitam gelap. Tubuhnya didorong dengan kasar hingga terjerembab di jok belakang. Di dalam sudah ada seorang supir dan seorang lagi temannya yang duduk di belakang. Lelaki kekar seram itu kemudian mengikat tangan Aruna hingga hilang daya. Sementara laki-laki yang membekapnya tadi, menyusul masuk ke belakang dan menutup mata Aruna dengan sorban hitam putihnya. Tak sampai disitu, lelaki tegap kasar itupun menyumpal mulut aruna dengan handuk tangan hingga sesak. Aruna nyaris kehabisan nafas.
Limbung, pikiran Aruna. Sejuta tanya segera menyerbu pikirannya. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Apa yang sedang menimpa dirinya? Siapa tiga laki-laki kasar yang menculiknya? Apa salah ku?, pikir Aruna. Ketakutan menyergapnya tanpa ampun. Tak ada lagi sisa keberanian seorang juara taekwondo, sang juara kini rapuh dicengkram ketakutan.
Tak ada satupun suara keluar dari tiga mulut laki-laki bengis itu. Mungkin sengaja atau memang mereka bertiga bisu. Mobil itu terus melaju entah kemana, terkadang terasa melaju dengan cepat, terkadang tersendat. Sesekali terdengar suara ramai di luar sana, mungkin itu pasar, pikir Aruna. Namun sesekali begitu sunyi, tak terdengar suara apapun di luar sana.
Sekali kesempatan mobil terasa berhenti, mungkin mengisi bahan bakar. Aruna terdiam tak mampu berkata, tak berani bergerak, apatah lagi lari. Mobil yang mengangkut mereka seperti terus melaju tanpa akhir. Berdasarkan perkiraannya, mungkin mobil berjalan sekitar 12 jam atau lebih. Aruna tak tahu mau dibawa kemana. Setelah perjalanan panjang nan melelahkan sekaligus menakutkan, mobil itu pun berhenti.
Kedua laki-laki di kanan kirinya turun. Sebuah lengan kekar nan kasar menariknya keluar. Menyeretnya hingga terantuk pintu mobil. Lelaki kasar itu menarik dengan bengis lengan Aruna, membawanya ke sebuah ruangan, lantas mendudukan Aruna di sebuah kursi.
Belum hilang ketakutan Aruna, tiba-tiba sorban hitam putih penutup matanya dibuka. Pun, dengan handuk tangan yang menyumpal mulutnya, ditarik dengan kasar. Tampaklah di hadapan Aruna, lima laki-laki tegap bertampang bengis. Tiga diantaranya yang tadi menculiknya, sementara dua lagi duduk tepat dihadapannya. Mungkin ini pemimpinnya, pikir Aruna.
Sebenarnya wajahnya cukup tampan, namun tertutup janggut lebat yang menghutan hingga menutupi ketampanannya. Kepalanya diikat sorban hitam, pakaiannya jubah hitam. Tangannya menggenggam sebuah belati yang tiba-tiba saja ia tancapkan di atas meja, hanya beberapa centi meter dihadapan wajah Aruna. Sementara laki-laki di sebelahnya sama berjanggut namun tanpa sorban. Kacamata minus tebal melengkapi penampilannya yang mirip scientist.
Lelaki berjubah hitam yang rupanya pemimpin mereka itu, dipanggil oleh lelaki di sebelahnya dengan panggilan Rayid. Hitam, yang menambah rasa takutnya yang semakin menggila.
“Huh... do you know, what is the punishment for a spy?”, tanya lelaki itu dalam bahasa Inggris berlogat Arab. Bahasanya baku, terbata dan kaku. Aruna terdiam, ia tak punya cukup keberanian untuk menjawab. Apalagi pertanyaan seperti itu. Apa maksudnya mata-mata? Siapa mata-mata? Aruna sungguh dalam limbung yang nyata.
“If I ask... you have to answer!” teriaknya sambil menggebrak meja. Aruna diterkam ketakutan luar biasa. Ia sungguh tak mengerti apa yang sedang terjadi. Apa yang sedang dialaminya.
“Hey...you...answer me!”
“Sorry..., I ... don’t understand what you mean”, bisik Aruna pelan dan bergetar.
“Hey ... don’t lie to me... and don't pretend !”, paksa Rayid dengan amarah yang amat menggetarkan.
“I swear ... I don't understand what you mean.”
“Don't think we are stupid... we know who you are.” Bentaknya seraya beringsut dari kursinya. Dia berdiri, wajahnya didekatkan ke wajah Aruna yang menggigil ketakutan.
“You think, we don't know who you really are... huh?” bisiknya ke telinga Aruna, bisik paling menakutkan yang pernah didengar Aruna.