Ini malam ke-dua Aruna dicekam ketakutan, terserimpung kalut dibalut dinginnya sel. Pipinya tak lagi meneteskan darah. Kini hanya kering merah menggurat tipis membelah lesung pipinya yang elok. Sesekali gores kering itu membasah diseduh air mata Aruna yang melara. Tak henti ia bermohon pada Tuhan agar ditemani, ia tak mau sendirian. Ia tak mampu melawan kesunyian bila harus sendirian. Aruna larut dalam kerinduan. Rindu akan sosok suaminya. Kerinduan yang merajang lubuk hatinya, hingga menggelegak berharap sua.
Makanan yang disodorkan dengan kaki kepadanya, tak sedikitpun ia sentuh. Hanya botol air yang sesekali diteguknya. Makanan yang tak pernah disentuhnya itu diambil kembali para penculik ditingkahi dengan kalimat-kalimat makian dalam bahasa Arab yang tak dimengerti Aruna.
Lamunannya buyar ketika pintu di sebelah kanan depan selnya terbuka. Aruna tak acuh. Ia tahu, pasti si kasar itu lagi membawa roti khubs khas Arab dan sebotol air mineral. Tapi ternyata kali ini berbeda, dari balik pintu nampak seorang anak gadis, ragu melangkah menghampiri selnya.
Gadis cantik tanpa cadar itu mungkin berumur sekitar 9 tahun. Terpesona sekaligus terkejut Aruna menyaksikan seorang gadis cilik nan cantik ada di tempat penyekapannya. Apakah gadis ini bagian dari organisasi jahat yang telah menculiknya? Entahlah, Aruna tak mampu menemukan jawabannya.
Di tangan kanan gadis itu piring berisi sekerat roti khubs dan sebotol air mineral di tangan kirinya. Ia mendekat penuh ragu. Ia berjalan menunduk entah mengapa. Sesampainya dihadapan Aruna, ia duduk rengkuh dan dengan penuh adab menyodorkan makanan itu pada Aruna.
Aruna terkesiap dengan sikap rengkuh gadis kecil itu. Sungguh kontras dengan Rayid atau laki-laki penculik dirinya yang lain. Setelah menyerahkan makanan pada Aruna, gadis itu berdiri dan berjalan mundur beberapa langkah, lantas berdiri membatu dengan wajah tetap menunduk. Aruna tak paham dengan keinginan gadis itu. Ia malah asyik menatap sosok gadis itu dari ujung kerudung hingga ujung kaki.
Tiba-tiba sebuah permintaan dalam bahasa Inggris, meluncur halus dari mulut kecil gadis cantik itu , seraya menganggukan kepalanya.
“Please eat Madam....” Suara yang mengagetkan Aruna. Sungguh tak disangkanya gadis kecil itu mampu melafal bahasa Inggris dengan begitu indah.
“Oh...thank you very much...” jawab Aruna masih dalam keterkejutannya. Perutnya yang sebenarnya sudah sangat kelaparan mendorong tangannya untuk mengambil roti khubs itu, memotesnya dan menyantapnya dengan lahap. Diselingi satu dua teguk air di botol, Aruna merasakan kenikmatan yang luar biasa. Alhamdulillah, bisiknya dalam hati.
Ia memang kelaparan, tapi jika bukan gadis itu yang mengantarkan dan mempersilahkan tentu ia tak kan mau menyentuh makanan itu.
Setelah dua tiga suap, Aruna kembali menatap gadis itu. Rupanya dia masih berdiri menunduk dipojok sana. Dengan penuh rasa penasaran dan harapan mendapatkan seorang teman, Aruna memberanikan diri bertanya.
“Hai...what is your name?” tanyanya ramah. Gadis itu membatu seperti tak mendengar pertanyaan Aruna. Merasa suaranya terlalu pelan dan khawatir gadis itu tak mendengarnya, ia pun mengulang pertanyaannya dengan lebih keras namun tetap dengan intonasi ramah.
“What is your name...?” Masih tak ada jawaban. Arunapun menyerah, rupanya gadis itu memang tak ingin bercakap dengannya, atau tuli barangkali, entahlah. Aruna menyerah, dengan sedikit kesal ia bergumam sendiri “My name is Aruna...” ujarnya sekenanya sambil memalingkan wajah dari gadis itu.
Hening kembali mengangkangi ruangan itu. Tak ada bunyi apapun. Tak seperti biasanya, teriakan-teriakan tak jelas dari ruang sebelahnya kali ini alfa dari pendengarannya. Kali ini benar-benar sepi, sesepi hatinya. Aruna kembali hanyut dalam kesendirian. Keberadaan gadis itu tak lagi menarik perhatiannya. Hingga sebuah suara surga terdengar pelan dari arah gadis itu
“My name is Manari”
Kembali Aruna terkejut, namun kali ini terkejut karena bahagia. Rupanya gadis itu berkenan untuk berbincang dengannya, meski mungkin hanya sekedar basa-basi pengusir sepi.
“Hai...I am Aruna, you can call me Runa”
“Hai...I am Manari, you can call me Mana” sambutnya, masih dengan wajah yang menunduk
“Nice name...but, what does it mean Manari?”
“My father said, Manari means to shine brilliantly”
“Hey ... good meaning ... according to your beautiful face shining”
“No ... you are praising too much...” elak Mana seraya memerah mukanya. Ia masih menunduk meski sesekali wajahnya terangkat dan makin nampaklah kecantikan kecilnya. Duhai semesta...ia mirip sekali Inara..., gumam Aruna dalam hati.
“No ... I am not praising you. You are indeed a radiant beauty” lagi Aruna memuji. Rupanya gadis itu mulai mencair, ternyata ia gadis yang ramah dan tentu saja pintar, terbukti dengan bahasa inggrisnya yang bagus.
“In my opinion, you are the beautiful one” puji Manari. Sebuah pujian yang sudah sangat sering didengar Aruna di alam bebas sana, tapi pujian kali ini, di dalam sel yang berada di antah berantah, sungguh sebuah berkah, maka mekarlah hatinya.
“No ... no ... hey ... your English is very good, where do you learn?
“At school, but that was then...”, nada suaranya melemah tanda sedih mulai menghampiri.
“Are you not going to school anymore?”
“No ... since my father brought me here”