Senja diambang batas usianya. Qatif, Provinsi Timur Saudi, bersiap menyambut malam. Lampu- lampu jalan telah dinyalakan, ditimpali lampu-lampu rumah penduduk, mengurangi disimilaritas jingga, sang senja. Namun kecantikan senja tak berkurang sedikitpun, ia tetap menawan setiap mata yang awas. Mata yang merindu keindahan, mata yang rawan menangkap isyarat Tuhan lewat jingga yang elok.
Mentari menghitam, angin mendesirkan maklumat malam, bulan menunggu di kelokan senja. Belalang gurun sibuk mencari misbah, tak mau ditelan kegelapan. Syetan melenggokan tarian Maghrib yang merah seram. Alam bersinergi dengan energi syetan yang memuncak. Manusia menepi, sebagian besar menepi di rumah sunyinya, sebagian kecil menepi di rumah Tuhan mencari perlindungan. Perlindungan dari syetan yang bergerak dibalik bayangan. Sementara Aruna menepi di pojok kerangkengnya.
Qatif, sekitar 12 jam lebih dari Madinah. Sebuah jarak yang ditempuh Aruna dalam drama penculikannya. Senja menggelincir, malam merambati kota, perlahan, kota memuram. Aruna masih terduduk di pojok sel, bersandar di kerangkeng besi ditemani beberapa baris doa yang berulang-ulang dia rapalkan, selepas shalat Maghrib yang panjang.
Suara pintu yang berderik membuyarkan rapalan doanya. Sosok Manari berdiri ragu di balik pintu. Lagi dengan sepiring roti Khubs dan segelas air mineral. Matanya yang bulat hitam mencari-cari wajah Aruna di keremangan sel yang memburamkan pandang.
“Mana...come here...” Aruna memanggilnya lembut. Manari bergeser langkah, mendekati kerangkeng yang setia mengurung jiwa Aruna. Ia mendekat dengan berbalut kesunyian, rupanya hardikan ayahnya kemarin membuatnya sangat ketakutan dan tidak akan mengulangi percakapan lagi.
“I know you are afraid of your father, but that's okay. Your dad is not here right?”
Manari semakin mendekat namun masih dengan kebisuannya. Seperti kemarin, tangannya rengkuh menyodorkan makanan pada Aruna. Manari duduk bersimpuh tepat dihadapan Aruna. Namun itu tak lama, ia berdiri dan mundur beberapa langkah ke belakang dan berdiri menunduk seperti kemarin.
Aruna faham ketakutan Manari, ia tak bermaksud memaksa Manari bercakap, meski ia sangat ingin bersulang kata dengannya. Hening, Aruna tak berselera menyentuh hidangan. Ia sedang berselera bercakap dengan Manari yang kini mengarca di sebelah kanan selnya.
“It's ok Mana..., I understand that you're afraid. I just want to say, that I really enjoyed with our conversation yesterday” sesungging senyum mengulas di bibir Aruna. Senyum yang mendapat lirikan dari ujung mata Manari.
Kembali hening menyelebungi ruangan dengan dua jendela kecil di kiri atasnya. Jendela berbalut kaca tipis yang nyaris tak memberi ruang pada matahari untuk sekedar menyapa Aruna. Jendela yang tak memberi kesempatan bulan untuk sekedar menghibur Aruna.
Hening, serangga malampun bisu. Hingga sebuah kalimat meluncur dari mulut kecil Manari.
“I am so scared” serak suaranya menahan tangis, dan tak lama kemudian air mata itu deras mengaliri pipinya. Suara sesenggukan sesekali menimpali. Aruna senang sekaligus sedih. Senang karena Manari mau bercakap lagi dengannya. Sedih karena melihat Manari menangis dengan basau.