Bidal tua bertutur, Siapa menanam dia menuai. Pun kanun kausalita berperi, Ada akibat dari setiap sebab. Begitulah aksioma kehidupan, ia tak menyisakan ruang hampa. Setiap denyut kehidupan selalu diwarnai sebab dan akibat. Tuhan sang Maha Tahu, mengilhamkan ilmu pada hamba-hambaNya, lantas Ia memberi kebebasan untuk memilih. Ia tak pernah memaksa meski Ia sungguh mampu melakukannya. Arkian, Ia menyiapkan kisas untuk setiap telatah. Begitulah perangai cintaNya, aneh namun indah.
Tuhan menghamparkan karpet merah kebebasan, menawarkan kesempatan nyaris tanpa batas kepada setiap anak manusia untuk menabur benih, melansir sebab. Namun Ia tak tinggal diam. Dia menyiapkan buah untuk setiap benih yang ditabur. Dia menyiapkan akibat dari setiap sebab yang dilansir. Tak ada yang bisa lepas dari jerat tiorim itu. Cepat atau lambat, benih yang ditabur akan berbuah, dan sebab yang ditebar akan berakibat. Itulah bukti adilnya Sang Kuasa.
Tuhan hanya membayar harga untuk setiap yang kita jual. Tuhan tak mengenal kamus balas dendam. Balas dendam adalah laku hewani manusia. Balas dendam adalah laku nirguna. Balas dendam adalah kesia-siaan yang menyahabat dengan Setan. Ketika manusia mendendam, maka pada saat bersamaan dia sedang menggali dua lubang kuburan, satu buat si korban dan satu lagi buat dirinya sendiri, demikian James Patterson sempat bertutur.. Sedang Tuhan itu juru adil yang tak mungkin abai, namun tanpa dendam barang sekerat pun.
Keadilan adalah jubah Adikara Tuhan. KeadilanNya meresap ke setiap pori kehidupan, mendarahi setiap selnya, dan mengisi setiap rongganya. Liputannya sempurna menyelimuti setiap jengkal tubuh kehidupan, sungguh, tak ada yang luput dari gebar keadilanNya. Hanya masalah waktu, kapan benih itu berbuah atau kapan sang sebab menghadirkan akibat.
Drama sebab akibat itu berawal dari perubahan ekspresi Ziya dalam beberapa hari belakangan. Ziya yang biasanya cerah ceria, belakangan nampak muram dan murung. Hanya sisa-sisa sabit senyum tergurat samar di bibirnya.
Nasihat-nasihat sejuk Ziya yang biasanya menghiasi hari-hari indah Aruna, perlahan redup. Nasihat-nasihat yang lazim hadir setiap hari dan menyejukan jiwa Aruna yang gersang perlahan mulai menghilang. Nasihat yang seringkali datang tanpa diundang. Sesuatu yang sebenarnya tak begitu disukai Aruna, entahlah Aruna sangat terpengaruh dengan kata-kata Erasmus, Jangan memberi nasihat bila tidak diminta!
Aruna merindukan nasihat-nasihat itu, meski harus diakuinya, terkadang nasihat Ziya justru membekaskan tanya di hatinya. Terkadang ia tak sepakat dengan nasihat suaminya, namun semuanya itu dia telan bulat-bulat, seraya menganggap itu sebagai jalan surganya. Tapi kini suara-suara nasihat itu serasa hilang. Suara yang biasanya hadir mesti tanpa diundang bahkan tanpa seonggok salam pembuka, kini gelibat, hilang dari jiwanya . Diam-diam dia merindukan nasihat-nasihat itu. Aruna kembali larut dalam sepi.
Hari-hari yang biasanya segarpun perlahan mengerontang menjadi kemarau selaras dengan cuaca kota Sang Nabi yang panas menyengat. Aruna merasakan kini hubungannya dengan Ziya mengering, menyisakan retakan-retakan tanah jiwa yang kehausan.
Rasa penasaran itupun dipendamnya dalam-dalam, dia tidak mau mengganggu konsentrasi suaminya untuk menyelesaikan studinya. Aruna berpikir semakin cepat Ziya menyelesaikan studinya, semakin cepat pulalah dia kembali ke kota kembang kenangannya.
Berhari-hari tanya itu dipendamnya dalam-dalam. Tapi semakin dalam dipendam semakin tumbuhlah ia menjalar di taman jiwanya. Akar itu akhirnya menyemburat, meski dalam bentuk tanya yang lembut.
“Biya....”
“Ya Unna, ada apa?” jawab Ziya sambil terus asyik dengan laptopnya.
“Oh...ga deh...ga jadi...Biya sedang sibuk rupanya,” jawab Aruna kikuk.
“Ah ga kok, Biya ga lagi sibuk. Ada apa Unna?”
“Ehm...maafin Unna ya Bi...lancang nanya sama Biya...”
“Eh ... kok jadi kaku gitu sih, kalo Unna mo nanya ... ya nanya aja,” sambil matanya tetap tertuju pada layar laptopnya.
“Gini...Bi...akhir-akhir ini unna liat Biya berubah...”
“Heh...berubah...berubah gimana maksud Unna?” jawabnya sambil matanya tak lepas dari layar laptopnya dan tangannya masih asyik menari diatas tuts-tutsnya.
Melihat suaminya yang tidak serius menanggapi, Arunapun urung bertanya
“Ah...ga deh...ntar lagi aja...kapan-kapan aja...kalo Biya lagi ga sibuk kita terusin.”
“Oh...ya udah...maaf ya Unna....ntar deh kalo ni dah kelar...kita lanjutin lagi obrolan kita.
Huh...katanya ga sibuk...tapi malah bilang gitu, gerutu Aruna dalam hatinya.
Keesokan harinya, malam yang hangat. Bumi mulai menguap tanda kantuk mulai menerpa. Peraduan menggoda dunia untuk terlelap. Hujan yang sejak sore deras menggerayangi matahari dengan pirau nan sejuk, perlahan beranjak pergi. Angin meniup lembut kelabu mega. Kini, rembulan September anggun menggantung di langit Madinah yang hitam cerah. Sesekali awan putih menyelisihi rembulan, untuk sejenak memudarkan keindahannya, namun itu tak lama, awan ternyata hanya numpang lewat . Sekejap kemudian rembulan kembali berlenggak lenggok genit menaburkan asmaragama ke lubuk jiwa para penghuni bumi.
Malam itu Aruna dan Ziya duduk berdua di teras Wihdah yang asri. Belum ada tangis indah si kecil hadir ditengah kehidupan mereka. Rupanya Allah belum mengizinkan hadirnya tangis bayi didalam kehidupan mereka. Momen tak palsu itu, kemudian dirasa Aruna merupakan waktu yang tepat baginya untuk menumpahkan kepenasarannya.
“Biya...”
“Ya...Unna...”
“Bi...boleh Unna nanya ?”
“Boleh dong...emang mau nanya apa sih?”
“Ehm...akhir-akhir ini Unna liat Biya berubah..”
“Hmm...berubah gimana maksudnya?” tanya Ziya terdengar kikuk. “Sebenarnya tak ada yang aneh dengan perubahan, setiap kita itu berubah, yang tak berubah itu ya...perubahan itu sendiri,” ungkap Ziya filosofis.
“Maksud Unna, Biya berubah. Biasanya kalo Biya pulang dari kampus tetep ceria meski keliatan lelah. Tapi belakangan ini wajah Biya muram setiap kali pulang.”
“Ah...itu cuma perasaan Unna aja kali,” elak Ziya mencoba meredam gelegak istrinya.
“Ah..ga juga kayanya Bi...Unna bisa ngerasain kok perubahan itu. Rasanya beda aja kalo Biya lagi muram gitu.” Hening cukup lama. Dua anak manusia mengarca, duduk kaku dibawah langit Madinah, disaksikan rembulan yang penasaran dengan drama yang akan ditampilkan dua anak manusia itu.
“Oh...mungkin karena Biya lagi banyak pikiran soal kuliah kali Unna, orang ga ada apa-apa kok” Ziya kembali mengelak.