Sejak drama horor itu, hubungan keduanya merumpang. Balut cinta diantara mereka memudar. Ada yang hilang dari genggam mesra tangan mereka. Arkian, ada rasa lain yang datang menggantikan rasa cinta diantara mereka, itulah yang kemudian dinamakan rasa sakit. Rasa yang memenjara cinta mereka, hingga hilang keanggunannya untuk bertutur, bernyanyi, untuk berpuisi. Rasa cinta membias jadi cahaya-cahaya samar, redup, malas menghidangkan rasa yang menghambar di ujung nyawa.
Sebait puisi seketika melintas di kamar jiwanya yang sunyi,
Di penghujung senja... engkau beranjak pulang
perlahan menuju hilang
hingga gelap datang menelan
Sementara aku disini menanti fajar
Berdiri batas antara cahaya dan gelap
Duhai...sejak indahnya senja kau bawa pergi
dan kau hanya tinggalkan hujan disini
kini aku adalah telaga
tempat burung-burung meneguk air mata
Masihkah kata “kita” layak tuk disematkan?
sementara tak ada lagi temali yang mampu mengikat rasa
rasa yang pudar sudah diantara kita
Masihkah ada remah rindu yang tersisa?
teman merpati bercengkrama menjemput senja?
Entahlah?
Hari-hari diantara keduanya terasa dingin meski matahari Madinah tetap setia membakar kulit mereka. Wihdah mereka layaknya Igloo di tengah padang pasir. Tak ada lagi kehangatan di tengah wihdah mereka. Wihdah mereka kini tenggelam kejumudan nan dingin membeku. Cinta tak lagi seindah senja, hanya durasinya saja yang sama, singkat namun pekat menggurat luka.
Aruna masih dengan kepekatan lamunannya. Meski Ziya telah berkata jujur bahwa cintanya hanya untuk Aruna semata, tak ada cinta lain dihatinya, tapi sikap Ziya yang tidak bisa menolak dengan tegas permintaan Syaikh Sulaiman terasa begitu melecehkan ego Aruna. Di satu sisi Aruna bisa memahami kesulitan Ziya untuk tegas menolak, namun disisi lain jiwanya sebagai seorang wanita menjerit berontak. Jerit tangis itu tak lagi melingsirkan hujan air mata namun menderaskan rasa perih yang kemudian menyisakan tetes darah pedih yang mengerat-ngerat kalbunya.
Namun jauh di lubuk hatinya, ada sesuatu yang mengusik jiwanya. Bisikan untuk tidak bersikap egois, untuk tidak merasa benar sendiri. Bisikan nurani itu mengajaknya untuk berkata jujur pada suaminya, tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Dorongan nurani itu begitu kuat menghantam lubuk jiwanya. Sekuat apapun dirinya melawan, dorongan itu justru semakin menghempasnya dalam kekalutan.
Rumah jiwanya kini dikuasai dua kutub yang berlawanan. Sesekali bisikan kutub Candace Bushnell menahannya, Some secrets are better left at that as secrets. — Sebagian rahasia lebih baik dibiarkan tetap sebagai rahasia, bisiknya.. Lantas Brian Herbert memungkasnya dengan bisikan A secret is most valuable when it remains a secret. — Sebuah rahasia itu paling bernilai ketika itu tetap menjadi rahasia. Tapi kutub lain, Khalifah Ali Bin Abi Thalib bertutur Orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal kepercayaan, cinta dan rasa hormat. Tak ketinggalan maklumat Ranca Upaspun memaksanya untuk menjadi seorang altruis dengan bersikap sadik.
Layaknya senja di garis batas, ia harus memilih, memilih sore atau malam. Bila sore jadi pilihan maka sukacitalah sang lembayung karena mendapat tambahan waktu untuk menghipnotis penduduk bumi dengan mantra kuning merahnya.. Sementara bila malam jadi pilihan, maka sang gelap akan tebahak, Ia akan segera menelan langit kebiruan hingga lumat dalam gelap. Senja yang dilukisi pertempuran dua kutub yang teramat sengit. Aruna termanggu di persimpangan jalan.
Namun, terkadang hidup tak menyediakan banyak pilihan. Akhirnya, Aruna pun mantap menentukan. Ia memutuskan untuk mengakhiri sandiwara panjang dirinya. Ia sadar betul apa resikonya, tapi ia harus berani, ia harus kuat menanggung akibatnya. Sandiwara panjang yang melelahkan harus diakhiri.
Sore Jumat itu, Ziya libur dari perkuliahan, dan kesempatan itupun tiba. Aruna menghampiri Ziya yang tengah duduk santai di ruang tamu wihdah.
“Bi...” ujarnya lembut.
“Ya Unna...ada apa...sini duduk, Biya kangen sama Unna” rengeknya merayu lembut.
Arunapun mengikuti kemauan suaminya. Dia duduk tepat dihadapan suaminya.
“Loh...kok duduknya disitu, disini dong dipinggir Biya,” pinta Ziya.
“Ah..ga apa-apa Bi...gerah.” Ziyapun tak berniat memaksa.
“Bi...maaf sebelumnya...Unna mau bilang sesuatu sama Biya.”
“Ehm...soal Putrinya Syaikh Sulaeman?, Biya ga tau Unna...Biya bingung...Syaikh Sulaiman belakangan ini makin sering menanyakan kepastian sikap Biya, tapi Biya ga mau menyakiti hati Unna.”
“Ehm..bukan masalah itu Bi, tapi ini masalah Unna.”
“Oh...syukur deh kalo bukan masalah itu. Biya bener-bener buntu kalo mikirin masalah itu.” Wajahnya buram, kelam menutupi setiap jengkal hatinya yang ambigu.
“Ya...ini bukan masalah Putrinya Syaikh Sulaeman, tapi ini masalah kejujuran”
“Hah..masalah kejujuran?, maksud Unna apa?, Biya kan sudah jujur sama Unna. Biya sudah berusaha jujur dengan mengatakan semuanya pada Unna. Ga ada yang dikurangi dan ditambahi,” ungkap Ziya mulai sedikit kesal.
“Oh...maaf Bi...bukan itu. Ini masalah Unna yang mau jujur pada Biya. Bi ... Unna sangat menghargai kejujuran Biya, oleh karena itu Unna merasa ga adil kalau Unna juga ga jujur sama Biya.”
Ziya terdiam mencoba mencerna kata demi kata istrinya.
“Bi...kita sudah berjanji untuk tidak ada rahasia diantara kita, tapi sungguh Unna menyesal karena telah menyimpan rahasia ini jauh sebelum kita menikah.”
“Hah...jauh sebelum kita menikah? emang rahasia apa sih Unna? ujar Ziya mulai dirasuki rasa penasaran.
“Ehm...sebelumnya Unna bener-bener minta maaf, sebenarnya Unna...itu...” ujar Aruna tersendat ragu.
Ziya menangkap keraguan istrinya. Rasa kasihnya kemudian mengaliri darahnya yang sebelumnya mulai mendidih.
“Unna...memang kita telah berjanji untuk meniadakan rahasia diantara kita, namun bila menurut Unna, rahasia itu harus dipertahankan demi keutuhan cinta kita, biarlah itu tetap menjadi sebuah rahasia!”
“Ga Bi...ga bisa begitu...Unna harus fair...Unna harus membuka rahasia itu”
“Unna...jangan terburu-buru...cobalah berfikir dengan tenang...pikirkanlah akibatnya, baik atau buruk. Bila buruk akibatnya lebih baik rahasia itu kita biarkan tetap tersembunyi di lubuk hati kita dari pada kita urai namun melahirkan badai,” ujar Ziya filosofis.
“Ga...Bi...Unna harus bicara jujur!”
Ziya yang mulai menangkap bahaya dibalik rahasia itu bila dibuka, kembali berusaha meyakinkan istrinya.
“Unna...Biya mohon, tolong jangan teruskan. Biarkan rahasia itu tetap menjadi rahasia!” kali ini nada suaranya agak meninggi.