Kehidupan meniscayakan presensi perdebatan. Tengoklah sabda buku-buku suci saat bertutur tentang prosesi penciptaan manusia dan kehidupan. Ternyata manusia dan kehidupan lahir lewat prosesi sawala[1] segitiga antara Tuhan, Malaikat dan Iblis. Perdebatan seru yang dipungkas dengan terusirnya Iblis dari bentala surga.
Perdebatan bagai pedang bermata dua yang mencalakan. Satu sisinya menajamkan pengetahuan, namun sisi lainnya menajamkan permusuhan. Selama ada dua raga yang masih berdegub, maka selama itu perdebatan akan meniscaya. Selama masih ada dua nafs yang urip maka pertelingkahan adalah keniscayaan.
Tak ada manusia yang diciptakan sama serupa. Setiap pribadi adalah unik. Keunikan yang kemudian melahirkan perbedaan. Perbedaan yang melahirkan pertelingkahan. Pertelingkahan yang kemudian melahirkan rana. Rana[2] yang kemudian melahirkan luka sejarah. Luka Sejarah yang kemudian melahirkan peradaban. Begitulah pertelingkahan, secara otentik melahirkan peradaban.
Setelah pertelingkahan hebatnya dengan Ziya. Ingatan Aruna berlabuh di sosok Arka. Terngiang kembali penggalan puisi Arka dulu, dua jiwa yang beda, mungkinkah menyatu?. Terpikir oleh Aruna, jangan-jangan selama ini Arka sudah tahu rahasia yang amat rapih disimpannya. Jangan-jangan Arka tahu siapa dirinya sebenarnya. Jangan-jangan Arka tahu bahwa dirinya adalah Abdurahman Niske.Ah...entahlah, Aruna mendesah dalam.
Demi menyelami lautan kepenasarannya diapun bertukar kata via telpon dengan Arka, sahabat kerempengnya.
“Run...giman keadaan kamu sekarang?, masih trauma sama si Rayid?”
“Hah...Alhamdulillah Ka...perlahan aku bisa melupakan peristiwa serem itu”
“Oh...syukur deh...ga ngira ya kamu bisa ngalamin kejadian kaya gitu?”
“Iya Ka...aku juga bener-bener ga ngerti kenapa kejadian kaya gitu bisa menimpa aku yang ga ngerti apa-apa masalah mata-mata kaya gitu.”
“Eh...ngemeng-ngemeng ada info ga dari polisi, kenapa kamu yang diculik?”
“Ya...kata mereka, kelompok itu nyulik aku sebagai umpan saja biar Syaikh Sulaiman keluar dari sarangnya. Mungkin menurut mereka, kalau aku jadi tawanan Syaikh Sulaiman bakal datang dan ga lapor polisi, tapi nyatanyakan ga gitu. Syaikh tetep lapor sama polisi”
“Trus kenapa bukan Ziya?”
“Ya mungkin nyulik aku lebih mudah aja, dibanding nyulik cowok tinggi gede kaya Ziya”
“Oh gitu yah,syukurlah kamu ga diapa-apain waktu kamu disekap”
“Ya...aku juga bersyukur banget, yaa...cuma pipiku sekarang bergaris Ka...he..he..”
“Gapapalah...pasti tetep cantik kan?, tapi sebenernya yang aku takutin itu waktu si Rayid tahu Syaikh Sulaiman bawa pasukan. Itukan posisi kamu bener-bener terancam Run”
“Ya juga sih...tapi mungkin ga ada jalan lain buat nyelamatin aku Ka...mungkin memang mereka terpaksa mengambil resiko itu”
“Ya kali ya...meskipun kalo ga ada Manari...ah...entahlah nasib kamu Run...”
“Iya...Ka...Manari itu pahlawanku Ka...aku ga kan pernah melupakan pengorbanannya.”
“Iya bener...sayang kamu ga tahu dimana pusaranya ya Run?”
“Iya...itu yang bikin aku sedih banget...Manari adalah pahlawan tanpa pusara”
Pembicaraan pun beralih
”Ka...sekarang aku ngerti pesan kamu waktu itu”
“Hah...pesen yang mana?”
“Pesen waktu aku mutusin mau nikah sama Ziya”
“Oh pesen yang itu...tapi bagian mananya tuh Run?”
“Pesen yang kamu bilang, dua jiwa yang beda, mungkinkah menyatu?”
“Oh yang itu toh...ya..maaf Run...aku memang sudah tahu semuanya tentang kamu.”
“Hah ... maksud kamu, tahu tentang aku gimana Ka?”
“Ya...bahwa kamu adalah Mr. Abdurahman Niske..aku emang dah tahu Run”
“Hah...kok kamu bisa tahu sih Ka?” kekagetan menjalari jiwa Aruna.
“Run...aku emang terkesan cuek, tapi sebenernya aku amat memperhatikan kalian, perubahan kalianpun aku amati dengan cermat. Makanya aku bisa tahu siapa itu Mr. Niske.
“Ya ampyun Ka...aku jadi terhura..eh terharu” jawab Aruna setelah berhasil mengatasi kekagetannya.