Aruna

kieva aulian
Chapter #19

19. Bisik Cinta di Masjid Nabawi

Infiniti adalah kemusykilan hidup. Tak ada yang abadi, begitu Nazril Irham bersyair. Tak ada pertemuan tanpa perpisahan. Berpisah itu pasti, sementara bertemu itu sebuah kemungkinan. Begitulah Tuhan beraksioma. Roda kehidupan terus diputar-Nya agar infiniti tak menjadi, agar hanya ada satu infinity, The Greatest Infinity. Aksioma yang menjaga keseimbangan kehidupan. Aksioma yang menjaga agar alur kehidupan tetap dramatis, tetap menarik untuk dijalani.

Galibnya perpisahan yang melahirkan duka dan air mata, perceraianpun demikian adanya. Ia mengundang luka dan air mata, apapun alasannya. Luka yang membekaskan memar biru, luka yang menghilangkan rasa, pun rasa manis pada secangkir kopi rindu yang dituang di ujung temaram senja yang menawan.

 Perceraian, adalah luka yang sangat ditakuti manusia. Namun, memang aneh kehidupan itu, manusia tak pernah siap terluka, namun ia tak pernah berhenti mendekati, menghampiri sembilu tajam yang siap melukainya. Perceraian dihindari namun manusia tak pernah berhenti mendekati pintunya, bahkan mengetuk-ngetuk, menggedornya, hingga mendobraknya. Setelah pintu itu luluh lantak, barulah penyesalan menyergapnya tanpa ampun.

Sejatinya, perceraian adalah penampakan sang ego yang sejak lama menggelegak ingin muncul ke permukaan kehidupan. Ia sudah tak tahan lagi berdiam diri di kedalaman jiwa. Ia berontak, ia ingin eksistensi dirinya yang selama ini tersembunyi diakui. Ia ingin tampil di gelanggang, mempertontonkan kekuatannya sekaligus kelemahannya. Perceraian adalah saat sang ego menjadi pemenang atas pertempurannya dengan nurani.

Setelah melewati proses yang cukup rumit di Konsulat Jendral Republik Indoensia, dan bolak balik Madinah Jeddah sejauh 415 km, akhirnya proses perceraian merekapun usai. Resmi sudah Aruna kembali menjadi munib[1]. Selama proses perceraian, Ziya tinggal di wihdah yang lain bersama rekannya dari Malaysia.

Tiga bulan adalah waktu yang mereka butuhkan untuk menuntaskan prosesi menyakitkan bernama perceraian itu. Tak seperti proses perceraian warga Arab Saudi yang relatif lebih mudah, proses perceraian mereka cukup berliku hingga memakan banyak energi, waktu dan biaya tentunya. Percis seperti kata Richard Wagner, Divorce is one of the most financially traumatic things you can go through. Money spent on getting mad or getting even is money wasted.Perceraian adalah salah satu hal yang paling traumatis secara finansial yang dapat kamu lalui. Uang yang dihabiskan untuk marah atau membalas dendam adalah uang yang terbuang sia-sia.

Proses perceraian mereka memang melelahkan. Tak seperti proses perceraian warga Saudi yang relatif lebih mudah, yang ditandai tingkat perceraian di Arab Saudi yang sangat tinggi. Tahun 2011 setiap harinya tak kurang dari 66 ajuan talak terjadi. Angka itu menggelembung di tahun 2013 menjadi 1.654 ajuan talak setiap harinya. Alasan perceraian di Saudipun sangat menggelikan sekaligus menghawatirkan. Tidak jarang alasan-alasan sepele yang tidak masuk akal menjadi sebab terjadinya perceraian.

Alasan istri tidak membalas Whatsapp saja bisa jadi penyebab jatuhnya talak, atau alasan wajah istri tidak seperti dibayangkan oleh suaminya karena ketika proses pernikahan wajah calon mempelai perempuan ditutupi burdah, atau ada lagi istri yang menggugat cerai suami karena suaminya tubuhnya terlalu pendek, si istri tidak tahan dengan ledekan teman-teman sosialitanya karena suaminya terlalu pendek.

Tiga bulan proses perceraian itu adalah tiga bulan terpanjang bagi Aruna. Tiga bulan itu dia sendirian, sendiri di kota Nabi. Tak terperikan betapa kerinduan akan sosok ibunya dan Arka, Bandung dan pusara Inara merajamnya dengan lalim. Hari-harinya terasa begitu berat dan panjang. Ingin sekali dia segera meninggalkan kota Nabi itu. Namun, yang membuatnya bisa bertahan sendiri selama tiga bulan di Madinah adalah ketenteraman Masjid Nabawi. Disanalah setiap harinya, Aruna rukuk dan sujud. Setiap hari ditumpahinya lantai masjid dengan air mata cintanya yang secara aneh muncul untuk kemudian menggelora di jiwanya.

           Di balik penderitaannya yang teramat mencekam, Aruna menemukan sebuah bentuk cinta yang lain. Di masjid Nabawi dia menemukan rindunya. Cinta yang sama sekali berbeda dari cinta-cinta yang pernah dia rasakan sebelumnya. Cinta kali ini begitu bersih suci, cinta yang tak terjamah hasrat duniawi. Cinta yang membuat dirinya meluruh lebur pada cintaNya.

Entahlah, Aruna sendiri tak pernah mengerti mengapa cinta itu datang, dia tidak pernah memintanya, tidak pernah mengundangnya. Cinta itu hadir begitu saja dengan indah. Kekasihnya terasa begitu dekat, menemani kesendiriannya. Hanyut Aruna dalam cinta Ilahi yang sunyi. Gundah gelisah hatinya perlahan menguap ke langit, terburai menjadi keping-keping makna. Sebagian membias menjadi pelangi yang menghiasi langit Madinah, sebagian menjadi rerumputan yang menghijaukan tanah madinah yang gersang, sebagian lagi menjadi rintik hujan yang menyejukan Kota Nabi.

Dzikirnya disudut masjid Nabi, adalah ulangan simfoni dzikir Nara di Andaru dulu. Dzikir Aruna kini adalah dzikir bening yang mengaliri lembut setiap sudut jiwanya dengan cinta. Dzikirnya adalah angin yang mengabari Tuhan tentang derita seorang anak manusia yang merindu. Jeritan anak manusia yang merindu jamahNya.

Gusti Allah ora sare, tak sedikitpun terlintas dibenakNya untuk abai pada setiap jerit sang hamba. Setiap saat Ia menunggui rintih sang hamba dengan sabar. Diusapnya setiap helai air mata yang membasah. Dipupusnya setiap bongkah derita yang mendera. Ia sungguh Maha Baik.

Sore itu, kemayu senja mencumbui matahari. Tak hanya mentari, rembulan pun ia rayu dengan kenes. Kali ini senja mendua. Rupanya ia tak sanggup sendirian menemani kesendirian Aruna yang tengah termenung di wihdahnya. Ia temani Aruna yang berusaha menyembunyikan kepedihannya, entah di bias senja yang mana. Siapakah Aruna yang bersembunyi di bias senja?, ialah Aruna yang tak lagi mau meratap, Aruna yang terjaga karena tak mau kehabisan durasi senja yang memang tak panjang.

Aruna melayang ke angkasa hampa, segelintir cakrawala melintas di hadapannya hingga, hinggap di satu sosok yang dirindukannya, Nara. Nara yang menuliskan kata terakhirnya I don’t want to make Allah Envious. Kini ia mengerti maksud Nara. Iapun sekarang tak mau lagi membuat kekasihnya cemburu. Dia tak ingin kehilangan cintaNya, cinta yang begitu indah, menyejukan, melegakan, menenangkan dan mendamaikan. Kini ia mengerti mengapa Nara begitu hanyut dengan cintaNya, kini ia merasakan sendiri betapa cinta seperti itu sungguh amat menghanyutkan.

Saat untuk pulang telah tiba. perasaan Aruna bercampur baur antara bahagia dan sedih. Bahagia karena ia akan kembali ke kota jiwanya, Bandung, Bahagia karena ia akan kembali bertemu dan tinggal bersama Ibunya lagi. Bahagia karena ia akan bertemu lagi dengan sahabat sejatinya Arka dan bahagia karena bisa menta’ziahi pusara Inara. Namun sedih, karena ia harus berpisah dengan Masjid baginda Nabi yang indah. Masjid yang telah melipur laranya dengan kesejukan dan ketenteraman. Tak kuat rasanya dia harus pergi meninggalkan masjid tercinta itu. Hatinya tak henti bertanya, apakah bisa kudapatkan cinta seperti cintaku yang bersemi di Masjid Nabawi?

Dengan berat hati Ziya tidak bisa mengantar Aruna pulang ke tanah air karena waktunya bertepatan dengan pelaksanaan ujian di universitas. Aruna tidak keberatan sama sekali, baginya Ziya sudah bukan mahromnya lagi, bagi Aruna, Ziya sudah kembali menjadi sahabatnya saja. Aruna tidak keberatan, namun kabar itu membuat Arka murka. Tiga paragraf chat amarah, dia persembahkan pada Ziya. Salah satu paragrafnya menggambarkan sarkasme, seraya mengutip kata-kata bijak Obito dari animasi kesayangan mereka berdua, Naruto. Shinobi yang melanggar aturan memang disebut sampah, tetapi shinobi yang meninggalkan sahabatnya lebih rendah dari sampah.

 Bagi Arka, tindakan Ziya dengan membiarkan Aruna pulang sendiri adalah tindakan pengecut, apapun alasannya. Dan begitulah /Arka, tiba-tiba saja dia sudah berdiri di depan pintu wihdah Aruna ditemani seorang wanita cantik bernama Diana.

“Masya Allah....Arka...ini beneran kamu Ka...?” teriak Aruna sesaat setelah membukakan pintu yang diketuk Arka. Bila tak sadar diri pasti dia akan menubruk pintu dan segera memeluk Arka sahabat sejatinya.

“Ya...ini aku, si ganteng Arka.” Masih dengan gaya slengeannya.

“Ya...Allah Arka...kapan kamu nyampe...?”

“Wei...tunggu dulu...kenalin nih...istriku...Diana putri paman petani...he..he...” canda Arka sambil memegang pundak wanita di samping kanannya itu.

Lihat selengkapnya