Malam merambat menuju ujung nyawa. Setelah tadi malam Arka dan Diana berpamitan, lewat dini hari, Aruna beringsut memasuki masjid Nabi. Aruna duduk bersimpuh mencerap sisa-sisa malam kota Sang Nabi hingga malam nyaris habis kehabisan nyawanya.
Sang fajar tak sabar menunggu tuk berpijar. Namun rembulan belum sudi beranjak, Ia berlenggok merayu sang fajar, sekedar meminta waktu tambahan barang sesaat. Sang fajar mengalah, dengan seulas senyum merah jambu diberikannya waktu tambahan pada sang bulan untuk sekedar menemani kesendirian Aruna di kegelapan.
Serangga malam meningkahi keheningan dengan kidung sunyi yang menghanyutkan. Sunyi yang melahirkan simfoni kepedihan anak manusia yang diserimpung kesendirian. Kesendirian yang sungguh teramat mencekam. Kidung sunyi itu mengerat jiwa helai demi helai hingga terkulai. Jiwa yang mala pun merapuh sudah, terkulai diatas sajadah basah air mata. Merembeslah derai itu menuju langit, meniti tangga pelangi , membawa pesan duka, membawa jiwa yang merinduiNya.
Rukuh kepedihan nampak cantik meski sedikit kusut dikenakan Aruna. Aruna dengan kesendiriannya, Aruna dengan kecamuk jiwanya yang gulana, Aruna yang hampa, di ujung malam itu, ia datang mengetuk pintu RahmanNya. Air matanya riuh mengetuk pintu Sang Rahman, berharap segera terbuka pintu suci. Gemuruh dadanya tak lagi tertahankan. Serpihan hati menggelegak meminta ruang untuk keluar, menghambur membuncahkan rasa pedih yang tak terkira.
Kakinya limbung menahan beban jiwa yang berat menindih bahunya yang tak kokoh. Jiwa letihnya liar mencari tempat bersandar. Gelisah yang menggundah meremangi jarak pandangnya. Sesekali setan menawari bahunya untuk disandari. Malaikat sibuk menginterupsi sambil sesekali mengusir setan, agar hengkang pergi menjauh. Sungguh riuh pertempuran Setan yang panas menghadapi Malaikat yang sejuk. Aruna tertunduk lesu, letih karena jiwanya dijadikan padang kurusetra pertempuran itu untuk kesekian kalinya.
Riuh pertempuran yang kemudian membisu dengan hadirnya sebuah sunyi yang teramat sunyi, sunyi diatas sunyi. Hening diatas hening.
Hanya air mata, tak ada kata-kata, tak ada mantra sakti, tahajud Aruna adalah tahajud air mata. Takbirnya , rukuknya , sujudnya , semuanya air mata. Air mata yang meruah membasahi lantai masjid Nabi yang agung. Namun basah itu tak tinggal di kerendahan, air mata itu lebih memilih meniti pelangi malam menuju Sang Rahim di kejauhan. Air mata itu menguap menjadi awan, awan Aruna yang ringkih merintih minta ditemani.
Hening diatas hening, Arunapun mulai mengumpulkan kata kata. Kata-kata yang kemudian ia rangkai menjadi puisi. Puisi yang ia persembahkan hanya pada Sang Kekasih. Seraya berdiri takbir, Aruna membisik,
“Allah...”, baru satu kata tercipta, tak tertahankan, tumpah sudah air mata, deras menderu desing, meresonansi ke segala arah. Mantra singkat itu layaknya badai yang memporakporandakan bendung keangkuhan. Jiwanya memburai, tubuhnya serasa terurai menjadi partikel debu semesta yang ambang diantara gemintang alam raya. Sementara tubuh wadag Aruna terkapar, mengakui segala salah dan khilaf. Mengakui segala ketakberdayaan. Mengaku segala rindu dendam.
Rengsa kedua tangannya mengangkat takbir. Malu ia mengetuk pintu, meski berharap gerbang langit terbuka untuknya yang hina dina. Akankah para malaikat segera mengusirnya?, Aruna diterkam keraguan. Ketukan ketiga kalinya di pintu memelan. Samar, hingga tak semahluk pun mendengar. Ia pun tahu diri, ia segera berbalik badan memunggungi pintu. Ia pun gontai melangkah, tepatnya merangkak, menjauh dari pintu Tuhan. Air mata membasahi jalannya mengingsut. Tak tahu lagi pintu mana yang harus ia ketuk. Aruna disergap putus asa.
Ingsutnya melatai lorong yang kian gelap, hampir saja ia sampai di ujung lorong sebelum sebuah cahaya, bias, meremangi lorong gelap. Gelagap Aruna mencari sumber cahaya. Saat ia memutar arah, tampaklah bahwa cahaya itu datang dari belakang pintu. Pintu Tuhan telah terbuka rupanya.