“Bunda...ayo peluk aku” rengek gadis belia itu penuh manja. Suara kanak-kanaknya bak lantunan Daud kecil yang mempesona, meski suaranya belum mengartikulasi dengan tedas. Gadis belia berjuluk Rabi’ah al adawiyah itu berlari kecil menuju pelukan bundanya.
Aruna yang dipanggil “bunda” itu juga berlari kecil ke arah suara kecil itu dan setibanya dihadapannya segeralah ia memeluk erat tubuh kecil itu dengan penuh cinta.
“Nah..dapet ...anak bunda yang paling cantik...” peluk Aruna makin erat.
Halaman belakang rumah mereka di kawasan Andaru yang luas nan asri menjadi taman surga atas senda gurau mereka.
“Bunda...,ayah mana?” hening sejenak. Aruna tidak mampu menjawab, sampai sesosok lelaki diiring sepasang lelaki dan wanita di belakangnya hadir di halaman belakang nan asri itu.
“Tuh ayah...” ujar Aruna seraya menunjuk sesosok tubuh lelaki tegap berwibawa yang kepalanya hampir selalu menunduk. Lelaki yang jemarinya hampir tak pernah absen memulir-mulir biji tasbih. Lelaki yang dikira telah pergi selamanya, lelaki bernama Nara, lelaki bernama panjang Muhammad Nara Sundana. Lelaki yang dijanjikan Arka sebagai kejutan besar bagi Aruna yang baru pulang dari Madinah.
Kejutan yang teramat besar dirasakannya. Nara yang dikabarkan telah lama meninggal ternyata masih hidup. Nara adalah satu-satunya korban kecelakaan pesawat yang selamat. Ia selamat namun tersesat berbulan-bulan di tengah hutan. Setelah kembali ke peradaban, Nara memutuskan merahasiakan kabar keselamatannya karena tidak ingin mengganggu kehidupan Aruna dan Ziya.