"Setiap manusia mempunyai kisah, baik atau buruk, semua telah tergaris."
๐๐๐
Aku masih terpaku di atas springbed. Mataku seperti dilekati lem kastol. Berat. Sulit sekali direnggangkan. Beberapa kali kukucek biar segera bisa melek. Satu uap dari mulut kemudian keluar mengembuskan semacam awan tipis. Menandakan kota ini memang dingin sekali. Mirip sepenggal kota Swiss, katanya. Tetapi, bagiku, kota ini lebih dari sekadar kota-kota indah di Eropa sana. Kota ini benar-benar pernah menjadi neraka bagiku. Udara sejuk seakan saling berlompat-lompatan dengan suhu neraka yang memanggang. Panas yang mendera-dera. Panas yang konon membuat penghuni neraka itu ingin musnah saja daripada menetap dalam siksaan.
Dia seperti biasa, tepekur di atas sajadah panjang yang kugelar di atas lantai berkarpet hitam ini. Badannya yang gagah memunggungiku, dia fokus menghadap sudut ruang, ke kiblat.
Mentari telah naik cukup tinggi. Menandakan masuk waktu Dhuha yang konon penuh berkah dan ijabah dalam berdoa. Ah, dia asyik bersama Tuhannya. Sementara, diriku baru terbebas dari sebuah mimpi buruk. Aku sengaja selepas solat Subuh tadi, terlelap kembali. Untuk coba melanjutkan mimpi menari-nari di antara taman Taj Mahal. Tetapi, bukan seperti adegan film India romantis yang kudapatkan, justru hantu orang Belanda itu kembali hadir. Bayangan kelam yang seharusnya tak muncul kembali ke dalam hidupku.
Hantu orang Belanda tersebut memang seringkali datang. Seperti jelangkung yang datang tak pernah diundang. Hantu orang bule itu rajin sekali menyambangi mimpiku. Sudah berapa ratus episode kiranya dia main di frame tidurku. Sejak aku masih kecil, hingga menjadi wanita karir sukses, sampai kini aku cuma menjadi penjual pecel pinggir jalan, hantu itu kerap menampakkan diri.
Dia menoleh ke arahku selepas salam tahiyat kedua. Aku langsung menyambutnya dengan rangkaian senyuman segar.
Kini, aku benar-benar bahagia. Kuharap uap neraka tak kembali menguap. Perihal hantu orang Belanda itu, ah biarlah. Anggap saja arwah gentayangan yang butuh perhatian.
Sebelum aku benar-benar bangkit dari landasan kasur empuk, sebelum aku menyiapkan teh melati buat dia, aku kembali tersenyum tebal. Tersenyum-senyum sendiri mengingat kisah hidupku ini. Bagai dalam film drama romance atau sinetron yang beratus-ratus episode.
๐๐๐
"Huh, bisa-bisanya wartawan memutar balikkan fakta seperti itu?!" Aku menggebrak meja berbahan jati berplitur hitam dengan hentakan kencang. Hingga layar laptop bergoyang-goyang.
"Sabarย tohย wadon ayu. Perempuan Jawa nggak boleh ngamuk kayak gitu." Ibu bergerak cepat menasihatiku. Tangannya sambil sibuk mencuci sebaskom kencur di wastafel dapur. Sementara, pegawai dapurku semangat menumbuk bumbu.