Arwah Cinta Van der Ham

Ikhwanus Sobirin
Chapter #2

Wawancara di Kebun Kangkung

"Makhluk di mata makhluk menjadi keindahan, kadang juga kesengsaraan."

🍁🍂🍃

Melenyapkan sejenak bayangan dua wartawan kurang ajar kemarin siang. Begitulah pemburu berita masa kini, yang hanya fokus pada cuan, cuan, dan cuan.

Seyogyanya, kode etik wartawan yang aku pelajari di ekstrakurikuler jurnalistik di SMA dulu, kudunya, isi berita itu mengacu pada rumus 5W+1H: what, when, who, where, why, dan how; yaitu berita yang mengacu pada fakta; apa yang sebenarnya terjadi, kapan terjadinya, siapa yang terlibat dalam kejadian, di mana, mengapa bisa terjadi, dan bagaimana kejadiannya. Bukan seenak dengkulnya sendiri mengatakan warungku ramai gegara pesugihan, hanya karena melihat nenek sering nyekar ke makam Londo pakai kembang turi.

"Neng, anak yang mau interview sudah datang. Cakep kok anaknya. Masih brondong! Dia temannya temanku." panggil Surti memakai suara cemprengnya dari atas anak tangga. Tanganku masih meremat kuat lengkung cangkir berisi wedang jahe merah hangat. Kota Batu memang dinginnya seakan meremat-remat tulang. Namun demikian, kegagahan Gunung Panderman tak pernah bosan menghangatkanku.

Lekas kutaruh minuman harum itu di atas meja kayu berbentuk bundar.

Kemudian, aku membuntuti Surti yang sudah duduk anteng di atas anak tangga. Aku menurunkan kakiku yang bersepatu slop pelan-pelan. Kutinggalkan sejenak pemandangan perbukitan menawan di luaran sana, demi menemui Surti.

"Serius dia masih brondong, Sur?!" tanyaku bersemangat.

"Berkas lamarannya belum kuminta, Neng. Sudah yah, urus sendiri! Nyonya mau mandi dulu," celetuk Surti.

"Nyonya katamu?!" sinisku.

"Mulai sekarang, panggil aku nyonya, yah! Nyonya Darmawan."

"Hah?! Nyonya Darmawan? Si penjual bakso gerobak?"

"Ih, jangan salah! Jodoh 'kan nggak pandang bulu?"

"Ih, kalau sudah jodoh yah pasti saling mandang bulu, dong. Eh, kamu memang sudah resmi pacaran sama dia?!" tanyaku dengan mengernyitkan kening melihat tingkah aneh Surti pagi ini. Tumben-tumbennya jam segini dia sudah berani mandi dan begitu asyiknya menyisir rambut basahnya di atas anak tangga sembari memegangi sebuah cermin kecil.

"Yah, dong. Tadi malam, dia menyatakan isi hatinya padaku lewat WA."

"Hah! Serius, Sur? Ha ha ha. Ya, sudah. Cepat mandi sana! Dandan yang cantik! Pakek minyak wangi yang banyak biar bau ketiakmu termanipulasi. Eh, eh, tapi itu bibir jangan merah-merah loh, yah. Dan nggak usah ditebal-tebalin kayak gitu. Entar dikira pantat ayam loh sama orang-orang. Ha ha."

"Yeh, jangan salah! Kata orang Jawa, perempuan berbibir tebal itu service-nya oke dan rasanya legit loh. Cengkeramannya kuat!"

"Kue lapis kali, legit ya?! Huh!"

"Sudah, Neng. Terima tuh brondong di depan sana. Lumayan ganteng, loh!" Surti setengah berteriak dari balik pintu toilet yang baru akan dia tutup. Gesit sekali dia habis duduk di tangga, eh sekarang sudah di dalam kamar mandi lagi.

Sorot mataku tajam mengarah ke sebuah titik cerah di depan. Lanskap sesosok lelaki muda rupawan seperti langsung hinggap ke kornea mataku.

Aku lalu mengambil posisi santai. Dengan tatapan tetap fokus ke bodi si lekaki berkemeja merah di depanku ini.

"Kamu serius, mau bekerja di warung pecel?" sapaku langsung membuka obrolan tanpa basa-basi terlebih dahulu tak layaknya orang HRD pada umumnya.

Lihat selengkapnya