"Rasa harus terjaga, demi keselarasan kebahagiaan, entah untuk diri sendiri atau untuk orang lain."
🍁🍂🍃
Pyarrr!
"Kamu kenapa, Len?!" Aku melihat tidak ada angin tidak ada hujan, piring keramik berukuran besar berciuman dengan lantai dari samping Leni. Terciptalah retakan-retakan tak beraturan. Berceceran di lantai berwarna hitam ini.
"Ma, ma, maaf, Neng. Akan kuganti piringnya, yah," ucap karyawanku ini patah-patah bicaranya. Bibirnya terlihat bergetaran.
Aku mengingsar dari tempat deretan tester bumbu pecel di atas meja, bergegas kemudian menyambangi perempuan berjilbab itu memunguti pecahan beling yang sudah luas menghampari lantai.
"Aduh, nggak usah, Leni! Kayak kita kekurangan piring saja!" cegahku merasa iba padanya kalau dia harus mengganti piring yang pecah.
"Neng, jangan ikut-ikut membereskan. Nanti tangannya kegores." Leni mencegah tanganku yang mulai mencoba memunguti pecahan-pecahan tajam.
"Kamu sedang mikir apa, sih, Len? Mikirin laki? Sudah deh, dari zaman batu tua sampai zaman batu akik, lelaki itu memang seperti itu! Nggak akan pernah mau mengerti perasaan perempuan! Lelaki itu maunya apa yang ada di dalam pikirannya. Tak mau sedikit pun memahami apa yang ada di dalam otak perempuan."
"Nggak ada pikiran apa-apa kok, Neng. Mungkin piringnya saja yang terlalu licin," alasan Leni kulihat wajahnya malah menjadi sedikit puyeh.
"Kamu belum makan, Len?!" khawatirku.
Leni menggeleng-gelengkan pelan kepalanya.
"Ayo makan! Karyawan restoran kok kurang makan?! Ayo ke belakang dulu! Makan yang banyak! Biar si Yetti saja yang nglayani customer," paksaku menarik lengan Leni supaya dia lekas menuju dapur.