"Ketidakpuasan hati membuatku mencari dan terus mencari. Mencari kebahagiaan dari selain dirimu yang tak pernah ditemukan hasratku."
🍃🍂🍁
Sang surya tampak menguasai penuh luasnya cakrawala. Tak sekuas pun awan tergores di langit yang biru. Hawa kota apel pagi ini cukup hangat. Sehangat hatiku menunggui kedatangan si Niko. Karyawan baru yang aroma parfumnya membuatku kepayang-payang. Lelaki muda yang fresh memang selalu membuatku berenergi, selain minuman-minuman hangat khas Jawa yang selalu memompa semangatku setiap hari.
Sembari menanti kedatangan cowok itu, entah apa specialnya, seorang wanita muda pemilik warung legendaris begitu antusias menunggu kedatangan seorang calon karyawan baru yang bahkan baru sekali ketemu. Tetapi no problem, bukan sebuah masalah. Niko telah berhasil membangkitkan gairah hidupku. Memang acapkali ada harapan-harapan baru kucanangkan setiap mengenal "cowok baru". Dan hari ini adalah giliran pria muda berambut rapi itu menjadi appetizer hasratku.
Tanaman kangkung tampak berbanjar rapi di atas lahan samping rumahku. Kangkung-kangkung ini menjadi salah satu bahan baku sayur untuk Warung Pecel Bu Ayu, selain kacang panjang, mentimun, kemangi, bayam, daun singkong, dan tauge. Kami sengaja menyiapkan sayur mayur segar dari lereng Panderman sendiri, demi memperoleh kualitas sayuran organik tanpa pestisida yang kami rawat layaknya anak sendiri. (Bukan iklan kecap).
Secara garis besar, kangkung ada dua jenis. Pertama, kangkung sawah. Kangkung jenis ini biasa tumbuh merambat di sawah atau pinggiran sungai. Sedangkan kangkung yang kami tanam berasal dari jenis kangkung darat.
"Bu Ayu? Tumben-tumbennya pagi-pagi sudah ke kebun?" sapa Bu Sumi menghangatkan pagi.
Aku pun memutar leher cepat-cepat menyahutnya. "Eh, Bu Sumi, mengagetkan saja."
"He he. Maaf, Bu."
"Oh, yah Bu Sumi. Lahan kosong paling pojok sendiri, apa sudah diisi?" tanyaku sambil melangkah beberapa meter ke arah selatan.
"Masih isi-isi polybag, Bu. Nah, itu dibantu sama Mas Darmawan," papar wanita yang sudah dua puluh tahun magersari di keluarga kami ini.
Dengan memakai sandal jepit, celana kulot agak tebal, kaos lengan panjang, dan rambut kuikat rapat--aku merasa bebas bergerak. Aku ikut bergelut menyemai kangkung sambil menunggu si cowok ganteng itu datang.
"Hai, Mas Darmawan. Jadi kencan ke mana sama Surti kemarin?" ceplosku begitu saja mendekati Mas Darmawan. Aku tersenyum-senyum bercampur bangga. Akhirnya, Surti laku juga.
"He he. Nggak ke mana-mana kok, Bu. Cuma makan mie pangsit di Pujon."
"Oala, iya. Loh, nanti sore sampean juga masih tetep jualan, 'kan?"
"Iya, Bu. Masih jualan."
Lelaki berbadan atletis itu selain membantu Bu Sumi di kebun kangkung, sore-sore nanti dia nyambi jualan bakso di sekitar alun-alun Batu. Bakso khas Malang. Khas yang artinya bakso Malang dan Batu tampak berbeda jika dibanding dengan bakso-bakso dari daerah lainnya. Bakso Malang lebih banyak menyajikan aneka gorengan. Mulai dari yang berbentuk bulat terbuat dari bola nasi, ada yang dari gulungan kulit pangsit, ada yang kotak-kotak, hingga kadang dicampuri bakwan goreng alias weci.
Aku memperhatikan cara Mas Darmawan dan Bu Sumi memasukkan campuran media tanam ke dalam polybag. Kami memang memilih wadah plastik hitam tersebut demi menghemat konsumsi air.
"Bu Sumi, jangan lupa campurannya 2 tanah, 1 kompos, dan yang setengahnya arang sekam, yah," pesanku seraya membuka karung berisi arang sekam yang kami beli dari petani lain kemarin pagi.
"Iya, Bu. Eh, hati-hati loh Bu tangannya nanti kotor."
"Ah, sudah biasa kotor, Bu. Nggak apa-apa."