Arwah Cinta Van der Ham

Ikhwanus Sobirin
Chapter #5

Bertemu Hantu Londo di Kafe Surabi

"Roda-roda misteri masih terus berputar. Melaju, melintasi kisah waktu."

🍁🍂🍃

Selama perjalanan dari kota Batu ke kota Malang, perasaanku acak-acakan. Campuran antara kecewa dan jengkel pada diri sendiri. Pintu-pintu putus asa seolah terbuka lebar. Kurang apakah diriku? Salon-salon kecantikan sering kudatangi. Uang? Rumah? Karier? Semua berada dalam satu genggaman? Terkadang aku ingin protes kepada Tuhan? Mengapa aku menjadi tuna cinta seperti ini? Dalam artian, kapan sesosok perempuan bertubuh bagus sepertiku ini benar-benar lega bisa memiliki seorang lekaki idaman, dengan segala sifat jantan yang dibutuhkan seorang wanita? Kapan diri ini dimiliki utuh, dan memiliki secara utuh?

Niko? Cowok bau kencur yang secara fisik memang mengundang kehangatan. Tetapi, aku masih punya harga diri. Aku tidak mau dicap sebagai wanita murahan, penjilat milik orang. Apalagi, lelaki berjaket biru di sebelahku ini, entah sudah berapa kali dibuat mainan sama si Dini? Jelas-jelas perilaku Dini itu menjijikkan.

🍁

Aku bersama Niko berjalan pelan dari arah selatan. Memasuki pasar hewan yang konon terbesar di Malang raya itu. Splindit namanya. Bau pandan dari bulu musang menguar, seolah mengucap selamat datang kepada kami berdua. Kacamata hitam kukenakan. Pundakku menyelangket tas kulit import asli dari Italia. Pakaianku sedikit terbuka, bahan katun putih tanpa lengan, dan masih setia dengan kulot longgar. Rambutku yang panjang hitam, seperti biasa, aku ikat rapat-rapat dengan jepit biasa.

Burung-burung dalam sangkar berlomba suara. Sesekali, terdengar pembeli berlomba menawar dengan harga yang kadang tak wajar.

Di sebelah bibir jembatan, seorang penjual tahu campur menggelar tenda dengan deretan kursi-kursi plastik. Makanan khas Lamongan itu memang kerap aku jumpai di sudut-sudut kota di Jawa Timur. Rasa daging tetelannya yang kenyal, bercampur kuah keruh yang dicampuri petis udang, sungguh menggugah selera siapa saja yang menyantapnya.

Tetapi, aku tidak sedang ingin menikmati campuran tahu, tetelan daging, perkedel singkong, mie, tauge, dan daun selada itu. Selepas mendapatkan koi idaman nanti, aku berencana akan menggeret Niko menikmati surabi panas dan yogurt segar di sebuah cafe kecil.

Melupakan makanan sejenak. Deretan penjual kelelawar dan monyet, kembali menawarkan dagangannya. Aku tidak sedikit pun punya cita-cita membeli seekor monyet. Cowok brengsek sudah cukup menjadi monyet bagiku.

Bau kotoran hewan menguap menyambangi hidung. Beruntung, bau tak sedap termanipulasi parfum dari tubuh Niko. Cukup menunda perutku dari goncangan muntahan.

"Nik, kamu pakai parfum apa? Awet banget baunya?" Sedikitku mencairkan suasana, lengan atas Niko kusentuh. Terasa keras sekali bagai besi. Sepertinya, pria muda ini memang rajin ngegym, atau dia memang suka olahraga berat.

"Parfum biasa kok, Kak. Beli di toko bibit parfum."

"Ooo," singkatku.

Aku lantas menuruni anak tangga pintu masuk stand jualan ikan hias. Baru masuk, kami langsung disuguhi ikan-ikan kecil yang terlihat berlarian di dalam kotak-kotak kaca.

"Nik, lihat! Menurutmu, ikan-ikan itu berlarian kian kemari, mereka sedang menikmati hidupnya atau justru ingin bebas?" tanyaku menjadi seperti bermain filosofi.

"He he. Kalau bebas, nanti malah mati, Kak."

"Yah, yah, yah. Terkadang hidup memang harus dikurung, yah, supaya bisa tetap hidup."

"Begitulah, Kak. Emmm. Mau beli ikan koi berapa, Kak?"

"Satu saja kali, yah. Buat tambahan. Kolamku sudah penuh soalnya."

Beberapa menit berjalan, aku pun asyik memilih-milih ikan koi di stand yang khusus menjual ikan koi. Banyak pilihan di sini. Semua motif ikannya bagus. Tetapi, aku harus segera memilih. Sama halnya dalam kehidupan. Walau semua pilihan itu baik, tetap saja harus segera memilih.

"Yang ini saja ya, Pak. Yang motifnya hitam putih," pintaku jatuh pada selenggok koi bertubuh gemuk.

Aku segera membuka tas mengambil uang. Nah, ketika membuka resletingnya, jantungku seolah ditusuk benda tajam. Suhu panas merambati kulit wajahku dengan cepat.

"Nik, dompetku di mana, yah?!" tanyaku langsung panik.

"Waduh, lah Kakak taruh di mana, loh?"

"Yah, nggak kutaruh di mana-mana. Biasanya aku taruh di dalam tas."

Lihat selengkapnya