"Biarlah letih menjamahi tubuhku. Tiap lekuk biar mereka senggamai, semau-maunya. Silakan wahai kalian pegal, linu, dan kaku di tiap sendi, nikmatilah, nikmatilah diriku sepuas kalian!"
🍃🍂🍁
Aku menyelonjorkan kaki di hamparan spring bed empuk. Bed kover nyaris menutupi wajah layuku. Di luaran sana, udara sedang adem-ademnya. Sementara, jemariku menggeser-geser foto Niko dari akun instagram. Aku bak seorang hamba liar di malam buta yang tengah menikmati salah satu karya hebat Tuhan. Karya berupa lekuk wajah yang betah kutatap lama-lama.
Tadi pagi, karyawan baru itu aku training sendiri. Mulai pagi hari hingga sore, tanpa henti. Jeda cuma makan siang saja. Setiap karyawan yang baru bergabung dengan Warung Pecel Bu Ayu, memang tak luput dari didikanku langsung.
Walau disebut warung, pecel pula, yah. Bagi orang lain, pecel mungkin mereka masukkan ke dalam kategori kudapan biasa. Tetapi, bagiku, pecel adalah heritage. Makanan tingkat sultan. Aku menyatakan perang terhadap orang-orang yang menyajikan hidangan pecel serampangan. Aku mengutuk habis-habisan ibu-ibu warteg di pinggiran jalan yang menjual pecel dengan rasa yang salah.
Padahal, aslinya, pecel itu mempunyai bumbu yang paten. Yang jika dibuat dengan cara yang benar, akan menjadikan pecel sebagai makanan terlezat di dunia. Bahkan, aku ingin mendaftarkannya ke UNESCO supaya ikut diakui sebagai warisan dunia di bidang kuliner sama halnya rendang dari Padang.
"Kamu pernah nggak, makan pecel di pinggir jalan, dan rasanya itu hambar sekali? Hambar seperti perasaan orang yang dicintai tetapi tidak bisa mencintai?" tanyaku cekikik kecil pada Niko sambil menunjukkan deretan bumbu pecel di atas meja testerku.
"Pernah," singkat si Niko.
"Kamu ngerti 'kan maksudku? Misal nih yah, ada orang, atau anggaplah ada orang Belanda begitu, yah. Dia pertama kali mencicipi nasi pecel. Dan apesnya, pecel yang dia makan adalah pecel dengan rasa yang salah. Otomatis, si bule itu kan pasti mendapatkan kesan pertama; bahwa pecel adalah bad taste. Nah, buyar sudah citra rasa pecel di mata dunia," jelasku dengan nada menggebu-gebu.
Niko berdiri di samping kiriku. Aroma parfumnya berkawin dengan gurihnya kacang yang terasa sangat memanjakan indra penciumanku.
"Rasa yang salah? Bagaimana maksudnya, Kak?" tanya Niko.
Aku memilih tak menyahut langsung pertanyaan Niko. Aku mencoba menunjukkan cara terbaik daripada sekadar bercerita karena merasakan sendiri adalah cara terbaik daripada mendengarkan.