"Hal yang paling surga bagi perempuan adalah memiliki lekaki secara utuh."
🍁🍂🍃
"Beruntung sekali ya, Sur, buat perempuan di dunia ini yang bisa memiliki lelaki yang dia cintai secara utuh. Dan lebih beruntung lagi, seorang perempuan yang cintanya kepada Allah melebihi rasa cinta kepada lelakinya. Sehingga, cemburu ibaratnya hanyalah angin lewat atau sendawa pelepas begah. Cemburu yang tidak menjadi beban kehidupan."
"Ngomong apa sih, Neng?" Surti memasukkan pentol kecil ke mulutmu yang jembar itu.
"Aku hanya ingin bermain kata-kata untuk menghibur diri sendiri, Sur. Siapa lagi yang paling pintar menghibur diri kecuali diri sendiri," tuturku sambil mengaduk-ngaduk pelan kuah bakso Cak Man Songgoriti.
Semilir angin menerpa lembut. Gemericik air sungai di seberang sana, terdengar murni riuh menciptakan titik-titik kenyamanan di telingaku. Jauh dari kebisikan, jauh dari polusi juga.
"Kamu masih cinta yah ke dia?" tanya Surti, mulutnya mengembang menahan kunyahan bulatan pentol di mulut.
Sepotong tahu putih kuiiris-iris kecil, siap kumamah bersama sedapnya kuah hangat. Namun, rasa perih di dada, tiba-tiba membusa. Labirin hatiku kembali disesati rasa perih semacam luka disirami air cuka. Perih, oh sungguh perih sekali.
Teringat awal-awal dulu, aku mengira kalau aku ini adalah satu-satunya bidadari terbahagia di surga. Diikat secara sah oleh seorang pria alim yang kuberharap dia bisa mengubah keglamoritasan hidupku selama ini. Tetapi, jalan terjal seperti bebatuan menuju puncak perbukitan Paralayang. Hatiku tergelincir. Batu besar membuatku terjatuh jauh ke dasar lembah penderitaan.
Batinku seperti menyaksikan tirai opera dibuka. Muka-muka badut mulai membuka drama. Tepuk tangan penonton meriuh. Di sisi lain, di belakang panggung, sosok wanita terlihat bermain sirkuit. Mulutnya menyemburkan api. Muncratan minyak gas dari mulutnya itu tepat mengenai kursi para penonton. Spontan, para penikmat opera lari tunggang langgang. Kecuali diriku. Kaki seperti lengket di lantai. Terpatri. Sementara ketakutanku tak terkendali. Para badut dengan wajah menornya beramai-ramai datang dari depan menyerangku. Sementara, wanita penyembur api itu makin ganas memainkan sandiwara di atas panggung.
"Bagaimana kamu bisa menikmati semangkuk bakso Cak Man jika mukamu hambar begitu, Neng?" Surti menggertak lamunanku.
"Mm, entahlah, Sur. Mengapa kubegini ya, Sur? Seperti tersesat di dalam rumah hantu. Dengan hantu para wanita yang menyeramkan. Sedang, para lelaki hanya bisa menertawaiku puas. Seolah tak peduli akan perasaanku."
"Sekarang 'kan ada cadangan baru, Neng? Si Niko," celetuk surti membuat daguku langsung mendongak tegak.
"Mustahil, menjijikkan!" Segera kumenyilang kalimat Surti.
"Menjijikkan bagaimana? Apa dia mulutnya bau? Dia anaknya bersih, putih, dan cakep begitu, kok!"
"Dia sudah beristri dan ...." Aku memilih meneruskan memotong pentol urat menjadi dua bagian. Lantas, kupotong-potong kecil lagi. Kuambil satu per satu memakai tusukan ujung garpu. Tatapanku lantas naik. Memandangi rindangnya beringin yang memayungi gerobak bakso Cak Man ini.
"Jangan sembunyikan rahasiamu dariku, Neng. Aku bukan tipe wanita emberan yang menciduk comberan, terus kusemprotkan ke mana-mana. Percayalah, walau mulutku ini selebar lapangan, tetapi aku lihai menyimpan rahasia." Seperti biasa, Surti berkata sambil bibirnya oleng ke kanan dan ke kiri.
"Niko, ibarat hewan buruannya Dini. Dia dijerat lalu dibuat mainan. Sewaktu-waktu bisa saja dibuat mainan jika dia dibutuhkan. Jika sudah dipakai, begitu saja akan dilepaskan kembali. Begitu seterusnya, Sur. Kamu paham 'kan maksudku, Sur?"