"Aku masih tertatih-tatih menapaki tangga luka. Kini kubutuhkan kekuatan dari segala arah."
🍁🍃🍂
Puluhan jenis pecel melegenda ke seantero bumi Jawa. Ada pecel Madiun dengan pincuk daun pisangnya, pecel Bantul dengan banyak sayur bunga turinya, pecel Nganjuk yang pedas meliliti perut, pecel Blitar dengan serundeng gurih manis, juga pecel Malang dengan tekstur bumbu yang agak kasar.
Pecel Bu Ayu sendiri merupakan kombinasi cantik antara pecel Bantul khas kembang turi dengan pecel Malang yang tekstur bumbunya agak kasar. Mbah Uyut sendiri memang asli orang Batu. Kelahiran Songgoriti.
Siang begitu menggerahkan badan. Aku memarkir mobil di halaman samping rumah makan, lantas langsung mengecek kebersihan etalase kaca yang berisi aneka lauk pauk. Di Jl Panjaitan inilah cabang ketiga Warung Pecel Bu Ayu berada. Menempati sebuah ruko dua lantai. Kepala restoran dipegang oleh Pak Zainul. Dialah yang bertanggung jawab penuh pada operasional di cabang Panjaitan ini. Mulai dari mengatur bahan baku masakan, mengontrol kerja para koki, waitres, dan kasir.
Dalam manajemen sendiri, nenek alias Mbah Uyut yang telah sepuh itu perannya memang sudah tak segiat saat masih bugar dulu. Dia kini lebih banyak menikmati sisa hari di rumah. Namun, sesekali wanita penggemar turi rebus itu menyempatkan diri menyambangi dapur khusus mencicipi bumbu. Jika ada yang kurang pas, atau terlalu lebih dari rasa yang telah dipatenkan, Mbah Uyut tak segan memberi masukan.
Khusus urusan roda keuangan, sepenuhnya ditangani Ibu. Sementara, untuk marketing, promosi, dan personalia, aku yang mengendalikan semuanya.
Sambil menginput absensi semua karyawan, seperti biasa, aku ngobrol-ngobrol bersama Surti.
"Sur, bagaimana mungkin sebuah rumah tangga dibangun di atas bara pertengkaran?"
Sigap, Surti merespon. "Dia memang apa sudah nggak ngontak kamu lagi, Neng?"
"Sudah enggak, Sur. Entahlah, aku gamang, Sur. Kamu sama Darmawan sendiri gimana? Apakah sudah cocok? Sepertinya, dia cukup jantan sih, yah. Yah moga saja, yah."
"Lah, yah jangan sampai dia betina, Neng. Aku juga pengen hamil, Neng. Kamu juga pengen hamil kan, Neng?"
Mendengar pertanyaan dari Surti itu, dadaku terasa perih sekali. Pengen kuberteriak di pucuk gunung Welirang sekencang-kencangnya. Sambil memrotes Tuhan, mengapa Dia menciptakan jantan yang tak semestinya.
"Kamu harus mastiin ke Darmawan, Sur. Sebelum nasi jadi bubur. Itu penting sekali bagi seorang perempuan, Sur. Menurut sebuah penelitian, 47 persen alasan perceraian disebabkan oleh ketidakpuasan dalam urusan hubungan biologis."
"Yah, semoga saja Mas Darmawan selalu ngejreng tiap malamnya, yah, Neng. He he."
"Aku harus bagaimana yah, Sur?" resahku meminta saran pada Surti.
"Pilihan ada di tanganmu sendiri, Neng. Wanita mempunyai hak memilih. Kalau Neng masih cinta, coba hubungi dia. Datangi dia kembali. Tetapi, kalau Neng sudah nggak cinta, bagaimana mungkin bisa dipaksa? Itu hak prerogatif seorang perempuan, Neng."
"Aku bimbang, Sur. Apakah setiap malam yang dingin kulewati begitu saja tanpa kehangatan? Apa bedanya guling dengan sesosok pria, Sur? Harusnya lelaki itu Gatot Kaca yang begitu antusiasnya menggagahi istrinya, Pergiwa? Bukan Pergiwa-nya yang harus agresif? Betul begitu 'kan, Sur?"