Arwah Cinta Van der Ham

Ikhwanus Sobirin
Chapter #9

Kupu-Kupu Ulat

"Kupu-kupu cantik terbentuk dari ulat yang menjijikkan. Beberapa waktu mendekam dibutuhkan. Kesabaran. Diam. Membentuk diri dan konsentrasi tinggi. Perempuan juga layak mengikuti jalan hidup kupu-kupu, jika dia merasa berharga."

🍂🍃🍁

Tiga telur ayam kampung rebus, kubelah menjadi beberapa potong di atas piring keramik. Siraman pecel kental beraroma gurih segera menarik lambungku yang sudah bunyi keroncongan. Butiran nasi pandan wangi, cocok sekali dipadu bersama buah manisa kukus. Tak lupa, jus wortel low sugar tanpa susu, menemani santap siangku hari ini. Ah, segar sekali pastinya.

Suara pengunjung Warung Pecel Bu Ayu di depan, terdengar riuh. Tabuhan gamelan yang mengalun lirih dari speaker kecil yang terpasang di beberapa sudut, menambah kenyamanan makan siang. Suara gamelan yang estetik, pelan tapi menderap tenang seakan mengembalikan jiwaku ke suasana Jawa di masa lampau. Yah, suasana pedesaan Jawa yang klasik, eksotik, dan meneduhkan pikiran.

Siang begitu cerah. Matahari bulat sempurna memancarkan segala energi yang dia punya. Aku menyamankan diri di teras belakang bersama Surti. Sebuah teras yang menghadap langsung ke luasnya kebun wortel yang hijau. Terasku ini dilengkapi dengan meja makan yang terbuat dari kayu jati dan kursi dari sulaman rotan. Bebunyian khas juga bernada dari gesekan batang angklung yang tergantung beberapa buah, menciptakan suasana lebih lain; tenang, rileks, begitu khas bernuansa pedesaan. Semacam suasana Jawa dan Sunda berpadu menjadi satu menciptakan harmoni yang unik.

Sesudah tiga potong telur pecel memasuki mulut, tiba-tiba saja HP-ku bergetar kencang. Aku tak langsung meliriknya. Kelezatan bumbu buatanku sendiri membuat mataku tak beranjak; fokus ke sepiring nasi hangat di depanku. Ah, nikmatnya.

Surti memilih memakan tempe penyet. Tempe khas Malang dengan kedelai besar dia panggang pakai mentega dan madu. Setelah matang, dia penyet di atas cobek bersama sambal bawang merah dan kucuran sedikit perasan jeruk nipis. Uh, nikmat sekali tentunya. Aroma nasi pulen pandan wangi benar-benar membuat indera perasaku melayang-layang di atas udara kenikmatan.

"Neng! Suamimu telepon ituloh! Angkaten, tah!" seru Surti dengan mulut mengembung seperti perut ikan kembung ketika merasa terganggu. Ceceran upa terlihat menghiasi atas bibir Surti yang tebal itu. Dia kalau makan memang suka belepotan.

Aku memicing. Mengalihkan pandangan dari nama kontak yang kini muncul bersama nada dering HP-ku. Namun akhirnya lirikanku luluh juga. Ternyata benar. Dia akhirnya mencariku setelah sekian lama tenggelam dalam pasir waktu. Aku pernah berujar; aku akan pergi hingga dia menyuruhku pulang. Tapi entahlah, aku selalu gamang padanya.

Mas Iqbal. Nama yang membuat HP-ku bergetar kencang. Segetar hatiku saat ini. Hati yang beruntung terbuat dari daging. Coba jika hati terbuat dari kaca? Hem.

Mau ngapain lagi dia?! batinku. Aku menyengal napas.

"Angkat, Neng! Kasian! Itu suamimu! Lelaki sahmu!" gertak Surti menarik piringku.

Piring berwarna putih berisi pecel telur, aku rampas kembali dari rengkuhan Surti. "Ih, Surti! Sini piringku!"

Bibirku mengulum lebih kesal.

"Angkat, Neng! Mungkin dia sudah siap kali! He he."

"Siap? Siap apaan?!" sahutku.

Bersama perasaan setengah ragu, akhirnya, HP kuraih.

Pelan. "Ha, halo?" sapaku dengan suara cukup canggung.

"Assalamualaikum, Dik." Suara itu .... akhirnya kudengar kembali.

"Iya, wa, waalaikum salam," pendekku.

Sesaat aku tersemedi di dalam gua pertapaan. Bayangan wajah bening Mas Iqbal buru-buru terpampang nyata di depan mataku. Tumben-tumbennya dia menghubungiku, ya? Mimpi apa dia.

Lihat selengkapnya