"Kecantikan hadir bukan untuk menyenangkan seseorang, namun kecantikan adalah fitrah perempuan yang harus diperjuangkan."
🍁🍃🍂
Udara sejuk berkawin dengan cahaya surya yang jantan. Kuningnya terang dan tegas. Merambati tubuhku mulai dari ujung rambut hingga ujung kuku-kuku kakiku. Jamahannya hangat sekali.
Seperti biasa, aroma bunga tulip dari seberang sana, begitu memanjakan. Sementara, kegagahan gunung Panderman laksana pangeran Brunei ganteng yang memelukku erat-erat. Lereng-lerengnya tampak begitu detail. Mataku menjadi segar menikmatinya.
Tegap berdiri di halaman nan luas sambil menikmati sejengkal surga di kota apel ini. Sembari menunggu Surti menyelesaikan ritualnya. Yah, aku menyebut kegiatan mandi bagi seorang perempuan adalah ritual. Mandi memang seharusnya menjadi momen me time terbaik bagi setiap perempuan. Sudut waktu yang harus benar-benar dinikmati.
Setara Surti, apalagi semenjak dia pacaran sama Darmawan. Yang biasanya dia mandi sehari sekali, kini bahkan bisa lebih dari tiga kali.
Sama sepertiku dalam meritual, atau mungkin sama halnya perempuan-perempuan lain di luar sana, bahkan nyaris satu jam lebih hanya untuk menghabiskan waktu di ruangan favorit.
Kamar mandi jembar dengan lantai keramik mengkilap. Aroma lavender dari pengharum ruangan membuat jiwaku teduh. Lilin-lilin kecil aroma terapi, tak luput aku nyalakan. Mulailah lulur ber-scrub kasar menyambangi tiap lekuk tubuhku. Mulai dari kaki hingga ke leher. Butiran scrub seolah sentuhan terapis pijat yang tahu betul di mana letak titik syaraf yang perlu diluruskan.
Kemudian, lanjut membersihkan gigi sebersih-bersihnya. Kututup kemudian dengan obat kumur rasa mint segar.
Selanjutnya lagi, aku membasahi rambut dengan sampo aroma kemiri. Setelah busanya melimpah, siraman air hangat dari shower benar-benar membuat badanku rileks. Rasa pegal dan linu pun kabur jauh-jauh.
Namun, ritual mandiku tak hanya sampai di situ, olesan condisioner kusambung selanjutnya dengan vitamin rambut. Dan sentuhan handbodi menjadi step selanjutnya.
"Neng, ngapain berdiri di situ?! Kayak orang upacara saja!" Surti membuyarkan pentas tari monologku di atas panggung mewah.
"Aduh, Sur! Aku lagi asyik berjemur sambil bayangin ketampanan Pangeran Abdul Mateen, ah gangguin saja kamu ini!" Aku menoleh lekas ke arah Surti yang sudah berdandan cantik ala-ala penyanyi Pinkan Mambo. Rambutnya tampil agak keriting kuning dengan blush on merona-rona. Bibir Surti maju dengan tampilan merah mengundang goda.
"Eh, Nyonya Darmawan mau ke mana? Masih pagi loh, jam 12 malam masih lama loh, Nyonya. Ha ha," celetukku tertawa ringan.
"Ih, emangnya aku mbak kunti? Dandan tengah malam? Namanya juga mau nemenin juragan yah harus tampil beda, wangi, bersih, rapi, dan cantik. Pembantu nggak boleh dong kalah sama tuannya," centil Surti, ekspresinya genit sekali.
Aku lekas membukakan pintu mobil. "Silakan Nyonya," ujarku sembari membungkuk memberinya hormat kepada si Nyonya Darmawan. Hem!
Kami pun on the way ke daerah Jalan Abdul Ghani. Di situ, ada sebuah tempat yang menurutku ratu banget. Aku sudah janjian dengan ownernya setelah Surti mengingatkanku kalau pemilik tempatnya bernama Maya, teman kuliahku di UM dulu.
Sesampai di lokasi tujuan, kami berdua langsung masuk. Dan Maya langsung menyambutku dengan gegap kehebohan. "Wauw ratu pecel? Akhirnyaaa kamu datang juga ke sini. Wah, tambah padat tubuhmu, Non? Ya ampuuun, cantik banget kamu, yah." Maya melambungkan kepalaku. Tubuhku serasa membuai lalu memental akan celotehan pujinya.
Kami berdua seperti biasa, sesama perempuan cipika-cipiki genit. Saling menempelkan pipi kanan dan kiri.