Arwah Cinta Van der Ham

Ikhwanus Sobirin
Chapter #11

Malam yang Tak Berbintang

"Aku seperti pemain opera. Yang bergerak dan membuka mulut sesuai skrip yang telah dituliskan."

🍂🍃🍁

Tersenyum kaku di hadapannya. Dia tak berubah. Tak banyak bicara. Kulitnya sama persis sembilan bulan yang lalu. Putih dan bersih. Aroma badannya semerbak. Aku menyukai aromanya sejak pertama kali berjumpa. Dia duduk sembari melayangkan matanya ke segala sudut ruangan tengah. Mulai dari lukisan wayang, lukisan ikan koi, hingga pot-pot keramik China yang berderet rapi di sebuah almari kayu berukir.

"Kamu pasti rindu pecelku, 'kan?" Aku membuka tirai suasana dengan mempersembahkan sajian special.

Dia menggelar senyuman kecil. Menatapku kira-kira hanya separoh pandang. Tatapannya kemudian kembali melengos ke arah lampu kristal yang menggantung mewah di atas kami berdua duduk bersama.

"Ini nasinya masih anget. Masih tetap rojo lele." Aku menyidukkan seentong nasi di atas sebuah piring besar. Piring bulat pipih yang terbuat dari keramik setara warna dinding rumahku, putih.

"Sedikit saja, Dik. Mas sudah makan tadi," ucapnya sambil meraih sendok dan garpu dari dalam wadah.

Tanganku yang memang tanpa gelang (aku tidak terlalu menyukai aksesoris) mengaduk-aduk semangkuk bumbu pecel. Aroma gurihnya menguar saat air hangat mulai kutuang. Bergabung bersama aroma parfum Mas Iqbal, menjadi tarian imaji eksentrik. Apalagi parfum melatiku, membuat jiwaku merasa tambah segar walau jam makin larut pada putaran malam.

Sebelah mangkuk bumbu, sayuran hijau seperti kembang turi, kacang panjang, kangkung, dan bayam, kujumputi memakai garpu, lantas kuhiaskan perlahan di atas nasinya Mas Iqbal. 

"Sayurnya cukup segini, Mas?"

"Cukup, Dik," singkatnya.

Kemudian, saus kacang khas jawa itu membasahi campuran sayur-sayuran serba hijau ini.

Aku lantas mengambilkan empal, tempe goreng, dan rempeyek ikan teri.

"Rempeyeknya buatan Ibu, Mas. Coba, yah. Pasti rasanya mantul sekali."

Setelah matanya sekilas menonton hiasan wayang golek yang terhias di dekat lukisan ikan koi, suamiku ini mulai memamah nasi hangat dengan pelan tanpa menelurkan kata-kata lagi padaku. Dia memang seperti itu, kebiasaan, kalau makan tak banyak bicara. Katanya kalau makan banyak bicara nanti kegigit.

Sembari membiarkan Mas Iqbal menikmati kudapan malamnya, aku bergeser ke dapur. Daun teh bercampur melati kering yang kuseduh tadi, kutuang ke dalam sebuah mug bermotif kembang. Susu kental manis kemudian kutuang. Dua ruas jahe kugeprek, lalu kuikutkan. Air panas mengucur deras. Menyatukan rasa sepat, wangi, manis, dan hangat.

Kuaduk 27 putaran. Kata Mbah Uyut, setiap membuatkan minuman orang dengan adukan tepat 27 adukan, maka orang yang meminumnya akan terpikat pada si pembuatnya, orang yang berniat jahat akan luluh, dan yang tidak cinta akan terjatuh hatinya.

Aku lantas maju membawakan Mas Iqbal wedang teh jahe susu kesukaannya itu.

"Wedangnya masih panas, Mas. Pakai lepek dulu yah minumnya," ujarku. "Biar nggak kepanasan minumnya."

Dalam hati sebenarnya berontak, mengapa aku tidak menyuruh Mak Kus saja yah buat melayani santap malamnya? Susah amat jadi istri; harus melayani lelaki yang modelnya seperti ini. Bahkan, aku merasa menjadi babu. Harus menyiapkan ini dan itu. Menata semuanya. Harusnya, Mas Iqbal bisa menyiapkan sendiri apa yang dia butuhkan. Toh lelaki ini masih tak mau berubah, tetap dingin. Beku. Tidak ada tanda-tanda romantis sedikit pun.

"NdukwanitoWani ditoto. Wanita itu harus berani ditata lelaki. Itu sudah kodrat. Bagi lelaki, wanita itu tempatnya yah di dapur, sumur, dan kasur. Itu sudah ketetapan dari sononya, Nduk. Melayani suami itu adalah kewajiban seorang istri." Nasihat Ibu kala itu ketika aku baru sehari menjadi kemanten. Dan sebagai tradisi orang Jawa Timur pada umumnya, di hari pertama perempuan menginap di rumah pihak lelaki, si perempuan harus menjadi aktris pintar berakting. Dari semula perempuan yang mungkin biasa bangun kesiangan, jangan sampai ada ayam yang bangun mendahuluinya. Kalau di dapur tidak ada piring kotor, itu juga menandakan dia adalah seorang istri yang baik. Jadi di hari pertamaku menginap di rumahnya Mas Iqbal, aku mencuci puluhan piring di pagi harinya.

Aku telah melewati ujian tersebut di rumah Mas Iqbal. Setelah itu, aku sudah jarang sekali datang ke rumahnya.

Lihat selengkapnya