"Hidup tanpa cinta, bagai pecel tanpa rempeyek."
🍁🍃🍂
Seperti biasa, udara sejuk dan cahaya hangat dari mentari yang sudah setengah orange berpadu. Hari ini, aku ingin sejenak membuang bayang-bayang lelaki berkacamata kecil itu, Mas Iqbal. Ketika pagi masih buta tadi, dia berpamitan pergi. Membawa pulang kendaraan roda empatnya, kembali ke kota Pahlawan, Surabaya.
"Neng, bagaimana? Sukses, ya? Wah, selamat yah, Neng. Pasti bahagia banget, nih, sekarang. Akhirnyaaa, rek. Cie." Surti masih sempat-sempatnya mencandaiku di antara riyeknya dapur yang penuh akan kepulan asap dan uap masakan.
"Sur, sudah, ah! Tolong kamu transfer dong PO gula merahnya. Biar cepat dikirim!" perintahku kepada wanita lincah itu.
"Wah siap deh, Neng. Itu mukanya biasa aja kenapa, yah?! Nggak usah dilipet-lipet gitu!"
"Sudahlah, Sur. Aku sibuk! Ah!"
"Yah, yah, deh."
Asistenku berbibir tebal itu kemudian beranjak ke ruangan lain.
"Budi, bunga turinya tungguin, yah. Kalau kelamaan ngrebus, nanti bisa mblenyek nggak karu-karuan. Dan kamu Yanti, tolong peyek kacangnya yang sudah tiris, segera masukkan ke dalam toples, yah," seruku.
Masing-masing pegawai dapur sibuk dengan job desk masing-masing. Di depan, jumlah tamu terdengar mulai merangkak menciptakan keramaian. Jam makin bertambah makin membeludak pengunjungnya. Peluit dari tukang parkir tak henti-hentinya bersiul mengatur keluar masuk mobil para pengunjung di halaman parkir depan. Tanda bahwa hari ini warungku insya Allah laris manis. Amin. Dan tugasku kudu memastikan semuanya; terutama pelayanan kepada konsumen berjalan dengan baik. Apalagi, Minggu pagi seperti ini, wisatawan di kota Batu meningkat tajam jumlahnya. Kebanyakan penghuni hotel memburu sarapan di luar sambil mencari sensasi lain di kota sejuk ini. Kadang pula beberapa turis asing terlihat mampir ke Warung Pecel Bu Ayu hanya demi menyambung nostalgia katanya.