Arwah Cinta Van der Ham

Ikhwanus Sobirin
Chapter #15

Semanis Gula Merah

"Cinta terajut dan terurai silih berganti."

🍂🍃🍁

"Dik, kamu harus berubah." Suara Mas Iqbal pagi-pagi sudah masuk ke speaker handphone selagi aku asyik memunguti kembang turi di kebun.

"Berubah bagaimana, Mas?" responku seperti biasa, dingin.

"Kamu harus berhijab, Dik. Menutup aurat itu wajib hukumnya bagi setiap perempuan. Yang boleh terlihat hanya wajah dan telapak tangan."

Aku tak menggubris, gerombolan kembang turi ditarik-tarik dengan gantelan kayu oleh Pak Qosim. Di bawah pohon, sehampar terpal plastik menengadah siap menerima guguran kembang turi dari dahannya.

"Dik?" Mas Iqbal memanggilku sekali lagi.

"Iya, Mas. Sorry, aku lagi repot banget, yah! Chat saja!" Akhirnya kuputuskan menutup telepon. Aku tidak habis pikir, mengapa Mas Iqbal acapkali memaksaku berjilbab total? Bagiku, yang terpenting saat bertemu dengannya, atau keluarganya, aku berpenampilan tertutup dan sopan. Toh, aku tidak berhijab pun tidak mungkin ada pria yang menggangguku.

"Allah memerintahkan kaum hawa untuk menjulurkan kain ke sekujur tubuhnya supaya perempuan tidak diganggu. Lantas, jika perempuan tersebut tidak diganggu walau tidak memakai hijab, apakah otomatis hukum kewajiban berhijab kemudian luntur?" Desir pelan merindingi bulu kudukku. Aku teringat pesan almarhumah Mak Iyam, ketua pengajian di kampungku dulu itu.

"Daging babi diharamkan karena daging babi kotor dan tidak menyehatkan. Toh, banyak juga yang orang suka makan daging babi, tapi yah tetap sehat-sehat saja. Lantas, apakah daging babi kemudian bisa menjadi halal?" Bayangan Mak Iyam dengan senyuman ramahnya, kembali berkelindan di mataku, seolah dia ikut mewadahi kembang turi ke dalam keranjang.

"Khamar haram karena memabukkan. Lah, kalau diminum tetapi ternyata yang minum tidak mabuk, piye?" Mak Iyam menatap wajahku lekat-lekat. Aku salut melihat semangat Mak Iyam di atas ranjang pesakitan. Kala itu, dia masih menjalani perawatan di rumah sakit Lavalet.

Mak Iyam telah mengajariku banyak hal dalam kehidupan. Betapa dia seorang wanita yang kuat. Wanita sebagai pasak sebuah rumah. Wanita yang menjadi pondasi keluarga.

Namun penyakit kankernya hari demi hari bertambah menggurita, menggerogoti tubuhnya. Rambutnya perlahan mulai terlepas dari kulit kepala. Dia tetap tegar. Mukanya senantiasa berbinar-binar setiap bertemu denganku. Di sisi lain, suaminya tak memperdulikannya lagi. Dia dicampakkan. Begitulah pria memperlakukan wanita. Ibarat sepah tebu yang telah digilas manisnya kemudian dibuang begitu saja. Pria yang telah bersamanya sejak mereka menikah di usia remaja hingga anak-anaknya sudah pada lulus kuliah semua, kini meninggalkannya. Si suami kabur menuju istana lain, istri keduanya.

Aku teringat akan pesan terakhir Mak Iyam tentang hijab sesaat sebelum dia mengembuskan napas terakhirnya. "Mbak Sekar wanita yang cantik jelita, wanita yang kuat, semua itu intinya perintah. Kita tidak boleh banyak-banyak bertanya; mengapa Allah melarang ini dan itu, memerintahkan ini dan itu. Kita ikuti saja mau-Nya. Insya Allah hidup kita bahagia apa pun rintangan yang menyertainya."

Selang sehari setelah aku membawakan buah-buahan segar dan sebotol madu tawon asli untuk Mak Iyam, sebuah kabar masuk ke WA, Mak Iyam sudah tak bernyawa lagi. Ah, sedih sekali rasanya kehilangan dia.

"Pak Qasim?" 

"Iya, Bu?"

Lihat selengkapnya