"Singosari adalah saksi kekuatan cinta Ken Dedes kepada Ken Arok, begitu pun sebaliknya. Kekuatan cinta yang mengharuskan jatuh korban, penumpahan darah, dan penghianatan."
🍂🍃🍁
Sepulang dari toko "Barang Lama" di wilayah dekat pertigaan Purwosari, aku berencana mampir dulu beli es degan di wilayah jalan Tumapel Singosari.
Dua lampu kuno berhasil kuadopsi dengan harga lumayan fantantis, dan sebuah cermin kuno berbingkai kayu jati ukir berwarna hitam legam. Tiga benda itu nanti akan aku gunakan untuk menambah eksotisme warungku yang segala sudut ruangnya memang identik ornamen Jawa. Mulai dari desain interior, pernak-pernik, perabotan, hingga busana karyawan khas Jawa; batik atau kadang baju lurik.
Tak lebih dari setengah jam, aku telah sampai di bekas pusat kerajaan Singosari. Sebuah kerajaan besar di masa lampau yang wilayah kekuasaannya dulu meliputi sebagian Malaysia dan Singapura. Didirikan oleh Ken Angrok atau Ken Arok sekitar tahun 1222 masehi. Mulanya dulu bernama kerajaan Tumapel. Sampai pada masa Raja Wisnuwardhana, nama kerajaan diubah menjadi kerajaan Singhasari.
Melupakan sejenak seluk beluk sejarah Ken Arok, pria sekaligus raja sensasional itu, toh aku memang bukan ahli sejarah, namun memang menyukai dunia percandian, he he. Ah, aku lupa-lupa ingat, kini aku masuk di jalan mana ya? Sepertinya masuk jalan Ken Dedes, bukan Tumapel. Kalau jalan Tumapel, sepertinya jalan yang satunya lagi yang ada lapangan sepak bolanya yang lapangannya penuh rumput hijau itu. Namun, aku tak terlalu memperdulikan letak sebuah wilayah. Keinginanku untuk menenggak air degan, sudah tak dapat ditoleransi lagi. Hawa udara kabupaten Malang cukup sumuk sore ini. Tenggorokan seolah tak peduli. Dia terus saja berontak. Ingin segera dahaga terlepas dan keronta tersiram puas.
"Bu, es degannya gelas jumbo satu, yah," pesanku pada sang penjual. Jam di tangan telah menunjuk angka lima sore.
"Wah iya, Mbak. Pakek madu, ya?" tawar si ibu berucap ramah.
"Iya, Bu, seperti biasa. Wah, tumben sekali sepi yah, Bu?" Aku penasaran, biasanya tak sesepi ini.
"Yah, mungkin sudah mau malam, Mbak. Tapi biasanya jam segini masih banyak yang beli."
Aku lantas memapankan diri di kursi yang terbuat dari bambu di warung yang letaknya tepat di halaman depan rumah si ibu ini. Tatanan buah kelapa berukuran besar mulai dimasukkan oleh seorang bapak-bapak, sepertinya suami dari si ibu.
"Sudah mau tutup ya, Bu?" tanyaku seakan ikut menghitung jumlah bebijian buah kelapa muda diangkut oleh tangan ringkih si bapak. Sementara, lampu kuning di atas meja di depanku mulai menyentrong kuat, membuat rambut hitamku serasa dibanjiri kilauan emas.
"Iya, Mbak. Sudah sepi soalnya," jawab si ibu berbaju daster ini. "Pakai es yah, Mbak?" lanjut si ibu.
"Iya, Bu. Pakek. Sedikit saja, ya."
"Segini yah esnya? Nggak kebanyakan?"
"Nggak, Bu. Sudah cukup kok es batunya. Sejak kemarin pengen banget minum es degan di sini, Buk. Kalau di Batu 'kan susah nyari degan seperti ini. Kebetulan, saya tadi dari Purwosari, mumpung lewat sini yah sekalian mampir."
"Sepertinya Mbaknya ini sering ke sini, yah?" kata si ibu sembari meletakkan es degan jumbo dengan lumeran madu mengendap di dasar gelasnya.
"Sering, Bu. Cuma biasanya nggak sore-sore begini. Pas rame siang-siang."
"Oala, iya, Mbak. Ayo diminum dulu, Mbak. Saya kalau jualan degan dari dulu murni, Mbak. Nggak pernah pakek sarimanis, nggak pernah ibu campurin air. Es batunya juga pakek es tube. Jadi benar-benar bersih dan higinies," papar si ibu menegaskan kembali keunggulan produk jualannya.
Aku akui memang begitu. Jarang-jarang ada es degan yang otentik seperti ini. Apalagi khas ditambahi madu. Daging kelapanya juga berkualitas; benar-benar masih muda dan kenyal. Tak pernah berubah rasanya sejak aku pertama kali ke sini sampai detik ini. Air kelapa segar langsung dimasukkan ke gelas, kemudian ditambahkan serutan daging buahnya. Lalu, ditumpahi madu dan cairan gula pasir kental. Rasanya betul-betul original. Es batunya juga bersih. Si ibu memang benar-benar niat menciptakan minuman yang berkualitas.
Rasa manis madu bercampur dengan segarnya air kelapa muda. Segarnya mulai menyirami tenggorokanku hingga terasa nyes di perut. Serangan hawa yang mulai semilir bahkan seperti perang dengan bekunya es batu.
Aku coba mengabari Surti kalau aku masih sampai di Singosari. Tetapi, WA-ku malah centang satu.
Beberapa detak jantung berbunyi, cairan segar di gelas besar telah sampai di pertengahan. Sesekali, serutan lembut nan kenyal kulumat di antara gigi-gigi putihku.
"Mbaknya cantik sekali, yah. Kayak artis," celetuk si ibu tiba-tiba. Membuatku meringis malu.