Arwah Cinta Van der Ham

Ikhwanus Sobirin
Chapter #17

Soto Derita

"Bayangan hantu Londo persis seramnya dengan bayangan mereka-mereka penulis skenario hidupku."

🍁🍃🍂

Sebulanan lebih cowok berjambang panjang dan brewok tipis yang meratai dagunya itu mengirim bahan baku berupa gula merah, gula pasir, terigu, tepung beras, dan beras rojo lele ke cabang-cabang warungku di kota Batu dan Malang. Sekian waktu itu pula aku sedikit demi sedikit mencuri informasi tentang dirinya; di mana rumahnya, status asmaranya, nomor kontaknya, akun sosial medianya, dan lain sebagainya. Dia adalah malaikat yang pernah turun di depan candi Singosari menolongku pada suatu hari. Dia kujadikan sepercik cahaya yang kuharapkan akan menerangi esok hari.

"Dia belum nikah loh, Neng, ternyata," ungkap Surti mendekatkan bibir monyongnya ke kuping kiriku. Rasa geli membuat kepalaku menjauhi bisikannya.

"Kata siapa kamu, Sur?"

"Yah, kata dia sendiri?"

"Oh, yah?" Jiwaku seakan berbunga-bunga menyambut informasi penting dari si Surti.

Jikalau informasi itu benar, sepertinya, aku kudu semakin memperjelas dua gerbang pilihan: pertama adalah perlahan aku menjauhi Mas Iqbal sosok suami yang tidak jelas itu, atau pelan tapi pasti merengkuh cinta Satria yang kusebut sebagai cowok gula merah itu.

Ting tung!

Bel depan berdenting nyaring. Aku menengok lekas-lekas. "Wah, dia sudah datang," gegap gempita kumenyambutnya. Segera saja kuberanjak meninggalkan layar laptop.

"Sur, tolong terusin input data, yah!" pintaku pada Surti dengan gerakan tergopoh.

"Loh, Neng? Mau ke mana?" Surti menekuk mukanya merasa kubebani pekerjaan.

"Kencan, dong!"

"Hadeh! Selalu kencan, kencan, dan kencaaan terus setiap hari!" geram Surti, matanya mendelik dan bibirnya seperti biasa tidak bisa presisi.

Sesuai janji, Satria datang siang hari. Hari ini dia libur kerja. Dan atas nama perkenalan, aku memintanya untuk menemaniku menikmati soto ayam yang berada di wilayah sebuah kampung yang letaknya tak jauh dari Pacuan Kuda. Di sana, soto gerobak Mak Min dibuka mulai siang hingga sore hari. Karena tempat jualannya di tepi jurang, orang-orang banyak menamainya soto maut Mak Min. 

Bagiku sendiri, menyantap soto ayam sambil menelan keindahan gunung Kawi, apalagi dikawani pangeran tampan, menjadi surga tersendiri.

Beruntung, masih ada lahan parkir kosong. Jam satu siang, pas sekali buat kembali mengisi lambung. Anugerah terindah dari Tuhan untukku adalah perutku yang selalu tampak singset walau aku tipikal perempuan doyan makan. Berat badanku selalu stabil. Bye bye buncit. Aku tak pernah mengenal istilah diet. Aku tak pernah ambil pusing takut gemuk atau apalah perut melar. Ah, barangkali pencernaanku memang sudah lancar dari sononya. Sehingga, makanan bisa leluasa menjadi kawan ternyamanku setiap hari.

Aku dan lelaki berpundak tegap itu segera menghampiri gerobak berwarna kuning yang sudah dihiasi beberapa ayam potong utuh berwarna kuning pula, ditata di dekat panci kuah. Aroma rempah sungguh menggugah selera. memanggil-manggil syaraf perasaku. Embusan angin beraroma dedaunan sekitar, bercampur dengan aroma parfum Satria yang lugas. Duhai, alangkah indahnya hidup di dunia ini. Dunia pun serasa menjadi milik kami berdua.

Lihat selengkapnya