Arwah Cinta Van der Ham

Ikhwanus Sobirin
Chapter #19

Nasi Kuning Mistis

"Dalam filosofi Jawa, kuning artinya kemakmuran. Tumpeng artinya harapan yang menggunung. Kenduren artinya meratakan kebahagiaan ke sesama."

🍁🍃🍂

Hari ini hari ulang tahun Warung Pecel Bu Ayu. Semua cabang yang berada di Malang, Batu, Pasuruan, dan Mojokerto, kami wajibkan menggelar acara syukuran berupa kendurenan tumpeng nasi kuning. Kami mengundang beberapa warga sekitar warung dan barang tentu acara diikuti para karyawan di masing-masing cabang.

Aku fokus menggelar acara di cabang Jalan Panjaitan. Sementara, di cabang Panderman, ada ibu sebagai pelaksana. Di cabang lain, dibantu paman dan diurus kepala warung masing-masing.

Seperti biasa, Surti menjadi tangan kananku. Dia memang tidak bisa jauh dari sisiku. Ke mana-mana dia selalu menguntit. Maklum, ibarat seorang artis, Surti adalah seorang manajer manajemen. Apapun kebutuhanku Surti yang membantu membereskan.

"Untuk nasinya, biar aku saja yang tangani. Kalian siapkan saja lauk perkedel, kering tempe, mie goreng, dadar telor, dan ayam goreng," perintahku penuh semangat di wayah sore menjelang warung tutup.

"Nggak apa-apa, Neng. Kami saja yang masak, yah. Neng duduk manis saja di sofa empuk, nanti tangannya melepuh loh kalau kena api kompor, hi hi," celetuk Rini mencandaiku.

"Halah, Rin. Kayak kamu nggak tahu saja kerjaanku kalo pas lagi di dapur kayak apa. Jangankan ngurus sebaskom nasi kuning, nyiapin nasi rawon untuk ratusan tamu kondangan pun aku sanggup! Memasak itu berperang. Dan setiap tukang masak, harus menang di setiap pertandingannya," ujarku sambil mulai menciduk beras dari sebuah karung besar ke dalam ember berukuran tak kalah jumbonya.

Selanjutnya, grojogan air dari selang, aku alirkan. Beras untuk nasi kuning lebih baik memang direndam terlebih dulu. Supaya nanti lebih gampang menyerap bumbunya.

Sambil menanti beberapa waktu direndam, aku beralih meracik bumbu. Ruas-ruas kunyit dan jahe aku bersihkan sebersih-bersihnya. Laos alias lengkuas juga telah aku siapkan. Beberapa butir bawang merah aku kupas kulitnya. Juga aku siapkan bahan-bahan pengharum nasi lainnya seperti serai, daun jeruk purut, daun salam, dan daun pandan. Benar-benar harus komplit. Karena aku tidak mau dicap sebagai koki ecek-ecek yang rasa masakannya bad. Setiap apa yang teracik dari tanganku, aku pastikan rasanya benar. Kalau tidak begitu, bukan Sekar Ayu namanya. Karena memasak bagiku merupakan totalitas dalam berkarya.

Di pojokan, tampak Bik Sani memasukkan daging buah kelapa satu persatu ke mulut mesin parut. Setelah hasil parutannya cukup banyak, Bik Sani campuri air, kemudian dia peras-peras, dia ambil santannya.

Semua bumbu dasar tadi aku cuci bersih. Lantas, aku iris-iris pipih. Lanjut pisau blender menghaluskan.

Bumbu nasi kuning kemudian menuang ke adonan santan di dalam panci. Bik Sani bantu aduk pelan hingga santan berbumbu itu meletupkan gelembung-gelembung panas.

Beras yang telah kurendam, aku tiriskan, kemudian sedikit demi sedikit mulai kumasukkan ke sebuah periuk berukuran super. Adonan santan berbumbu tadi aku campurkan merata bersama beras. Kemudian, kembali kudidihkan dengan api sedang. Tak lupa serai, daun jeruk, dan daun salam, ikut masuk membangun sebuah aroma special.

Sekian menit lamanya, nasi telah menjadi setengah matang dengan tanda cairan santannya menyusut. Dibantu Bik Sani angkat. Orang Jawa bilang namanya nasi aron, alias nasi yang setengah matang. Tangan kuatku mulai memindahkan posisi nasi dari dalam periuk aron ke dalam media dandang. Langkah selanjutnya proses penanakan nasi sesungguhnya. Daun pandan lanjut aku selipkan di antara tumplekan nasi aron.

Beberapa waktu menunggu, akhirnya nasi kuning pun matang sempurna. Siap dicetak membentuk kerucut besar. Lantas, aku taruh di atas sebuah tampah besar yang beralaskan daun pisang.

Irisan mentimun segar mengelilingi gunungan nasi kuning. Aromanya jelas membuat siapa saja pengen segera melahapnya.

Kini lauknya juga telah siap. Semua sajian kenduren kami tata di tengah-tengah hamparan tikar. Selain itu, Bik Sani menyiapkan beberapa teko berisi teh legendaris Warung Pecel Bu Ayu. Rasa teh wangi melati yang manis dan sepat. Sungguh the real food party in night. He he. Entah, apakah benar ejaan bahasa Inggrisnya seperti itu, yah?

🍁

Acara kendurenannya ba'da Maghrib.

Aku mengenakan baju gamis bersama seuntai kerudung warna pelangi. Maklum, Pak Modin sang pemimpin doa, akan segera hadir ke lokasi acara, jadi aku harus berganti tampilan yang agak-agak religi begitu.

"Oh yah, buah semangkanya sudah dipotong-potong, kan, ya? Tolong bawakan ke sini dong, Syid!" Aku menyuruh Rosyid salah seorang karyawanku itu mengambil kudapan cuci mulut di dapur.

Anak-anak semua sudah berkumpul, Pak Zainul sang ketua warung, Bik Sani juru masak paling sepuh, Wiwit, Devi, Doni, Arizal, Ami, dan lainnya juga sudah berkumpul.

Kami bersila mengelilingi setumpeng besar. Aroma harum nasi kuning buatanku mengundang pujian dari anak-anak.

Lihat selengkapnya