"Bidadari suci adalah impian yang kukubur. Aku segumpal najis yang menjadi mainan belaka."
🍂🍃🍁
"Sekar, Ibu mau nyari orang pintar. Katanya, di Kepanjen sana ada ustadz terkenal yang bisa menelisik ulah gaib seperti pada kejadian yang kita alami ini. Biar dicari siapa sebenarnya yang tega berbuat jahat semua ini?" Ibu menatapku fokus dengan tatapan dua matanya bulat penuh. Kelopak matanya membuka lebar. Aku mendengarkan semua omongan Ibu seraya menggigit bibir kuat-kuat setengah gemetaran. Bayangan Wiwit mengamuk di acara kendurenan kemarin membuatku takut tetapi justru menantangku untuk segera menginvestigasi kejadian-kejadian aneh tersebut bersumber dari setan mana.
Surti berdiri cemas meraba-rabahi punggungku. Di sudut lain, nenek alias Mbah Uyut alias Raden Ayoe Oetami tampak santai saja di atas kursi goyang favoritnya. Paman Kardi, adiknya Ibu yang ikut membantu jalannya usaha kami ikut urun rembuk, ikut menuangkan omongan.
"Barangkali, serangan angin panas harus kita lawan dengan angin dingin saja. Biar netral. Begitu kata kiai-kiai di pondok dulu," saran paman memberi pilihan kepada Ibu.
"Angin dingin bagaimana toh maksudmu, Di?" tanya Ibu.
"Kalau ustadz yang di Panjen itu, dia dukun Gunung Kawi. Kalau seperti itu namanya, setan melawan setan. Panas melawan panas. Api melawan api. Nanti akan jadi tambah kobong. Lebih tepatnya kita manggil Kiai saja. Secara agama, gangguan setan akan hilang dengan bacaan al-Quran dan dzikir. Apalagi zikirnya dari seorang alim seperti kiai, insya Allah para setan pengganggu akan mundur."
Mendengar istilah kiai, benakku menjadi menjerumus ke nama Mas Iqbal dan Kiai Fuad, yang tidak lain dan tidak bukan adalah suami dan mertuaku.
"Ke kiai Fuad saja bagaimana, Ratmi? Dia guru besarmu, juga besanmu, toh? Beliau orang alim." Nenek dengan suara kecilnya ikut menyumbang saran tiba-tiba.
"Yah, boleh juga, yah." Ibu sepertinya tanpa berpikir panjang langsung setuju usul dari paman. Kecuali diriku. Ah, mengapa aku harus berhubungan lagi dengan keluarganya Mas Iqbal? Padahal, kukira aku bulan-bulan depan ingin mengungkap ke Ibu bahwa aku bermaksud mau berpisah saja dengan Mas Iqbal. Untuk urusan bisnis, aku berusaha profesional. Walau kenyataannya, jika saja Kiai Fuad tidak menanamkan modalnya di Warung Pecel Bu Ayu, mungkin saja kisah hidupku akan lain alurnya.
Begitulah premis kehidupanku. Andai saja tidak ada Warung Pecel Bu Ayu, barangkali tidak ada yang namanya Kiai Fuad. Barangkali tidak ada Kiai Fuad, barang tentu diriku tidak mungkin digandengkan dengan seorang lelaki tampan tetapi loyo itu.
Ah, embuhlah. Mengapa takdirku seperti ini?
"Wes gini saja, kita tunggu beberapa hari dulu. Setelah suasananya lumayan mendingan, biar Sekar saja yang silaturahmi ke pondok Kiai Fuad. Sekalian nyambung tali asih ke suaminya." Nenek kembali memberi wejangan dengan suara agak serak-serak kering dan seolah menyindirku dengan lirikan matanya yang meruncing ke arahku.
"Toh, kamu masih bersuami sah dengannya, kan?" tambah nenek. Wanita tua pendiri Warung Pecel Bu Ayu itu kemudian membenahi kacamata tebalnya. Sesekali, koran Malang di pegangan, dia bolak-balik lembar demi lembar.