"Hiduplah seperti orang India. Suka atau duka tetap menari bersama."
🍁🍃🍂
Dua garis merah menjadi kiamat lokal. Suhu kota Batu yang sejuk, seakan berubah menjadi uap neraka Jahannam. Tanganku gemetaran hebat. Test pack yang kupegangi semula erat seperti berbobot ratusan kilogram tiba-tiba tidak kuat lagi kumemeganginya. Sambil aku terisak-isak, batang test pack aku patah-patah, lalu aku buang ke tong sampah.
Sekarang yang kupikirkan adalah, bagaimana cara melenyapkan janin yang sudah mulai bersarang di perutku ini.
Aku tidak mau menelurkan makhluk yang bukan berasal dari suami yang sah. Aku tidak mau mengandung anak hasil dari dunia kegelapan.
Hah! Anak hasil dari dunia kegelapan? Nuraniku kembali mempertanyakan.
Ah, aku berpikir ulang. Bukankah semungil bayi itu suci? Salah apakah si bayi hingga lancang kusebut begitu? Bukankah orangtuanya yang pantas disebut gelap? Orangtua yang hanya hidup memikirkan gemerlap dunia? Sehingga sebetulnya batinnya pekat dan hitam, pahit bagai kopi tanpa gula?
"Aaarrrggg!" Aku meremat rambut berbusaku. Kucuran air hangat dari shower lurus kujatuhkan ke atas kepala hingga hangatnya menyirami sendi-sendi tulang punggung. Lumayan nyaman di badan walau keadaan jiwaku sedang carut marut.
Ingin segera kumemangkas adegan hidupku yang teramat pahit ini. Ingin segera aku potong setiap bagian yang menurutku bad story ini. Ingin segera kuganti dengan cerita happy kemudian tamat dengan ending membahagiakan. Tetapi, aku harus belajar menerima semua. Semua telah terjadi. Dalang sudah menentukan alur ceritanya. Sedangkan kedunguanku bersama Darmawan merupakan improvisasi sangat bodoh. Improvisasi teledor di atas panggung opera yang jauh melenceng dari skrip yang ada.
Selankutnya, apa yang harus aku pertanggungjawabkan di depan Surti? Asistenku, sahabatku, bahkan dia telah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Dan kini aku, Sekar Ayu, laksana nenek sihir yang paling khianat di muka bumi ini.
"Oh, Tuhan, mengapa ini semua bisa menimpaku?!" Aku memarahi wajahku sendiri di depan cermin. Wajah yang menurutku ayu. Dengan kulit putih kenyal. Bibir sensual. Bulu mata lentik, dan hidung bangir. Seharusnya, aku bisa mendapatkan lelaki yang ideal. Sehingga tak perlu diriku meringkuk dalam gua kebekuan. Dan aku pun membeku dalam keadaan yang sama sekali tidak menguntungkan bagiku. Hidup bersama Mas Iqbal lekaki yang tak utuh demi terus menganak-pinakkan uang bapaknya dalam lingkaran bisnisku.
Ketika tubuh menepi di ranjang dengan hanya berbalut handuk, melintas sebuah dugaan-dugaan. Bagaimana kalau ternyata seonggok daging di perutku ini adalah betul hasil benih Mas Iqbal?
Ah, tidak mungkin. Aku tahu betul, dia belum pernah sekali pun memancarkan kejantanan secara jelas. Yang kurasakan hanya kekecewaan dan kekecawaan di atas awan. Ah, entahlah. Sementara, sambil menunggu rambutku kering, aku mulai searching alamat dukun bayi yang mempunyai kemampuan menyapu janin atau barangkali klinik penggugur janin terdekat.
Kubuka Google. Kucari data alamat klinik ataulah dukun ataulah dokter yang bisa membantu melenyapkan si calon bayi ini dari perutku.
Tetapi entah, sekali lagi seperti Iblis yang terus meniupkan godaan dan kemamangan ke dalam batinku. Bagaimana kalau aku menerima saja janin ini bersemai? Hingga dia tiba di dunia dengan sempurna? Lalu, aku akan bilang pada Mas Iqbal bahwa bayi itu adalah benar darah dagingnya. Tetapi, apakah Mas Iqbal termasuk lelaki bodoh yang mudah kukelabuhi? Bagaimana jika nanti dia malah menguapkan aroma curiga padaku, dan dia memberondong pertanyaan-pertanyaan: bukankah aku belum pernah memberi nafkah batin secara sempurna padamu? Lantas bayimu ini berasal dari sentuhan lelaki mana? Atau kau memang telah berbuat keji dengan lelaki lain di luar sana tanpa sepengetahuanku?
Atau aku bertandang ke meja hijau saja? Meminta Mas Iqbal menalakku? Kemudian aku meminta pertanggungjawaban pada Darmawan supaya dia mau menikahiku secara sah di atas tali agama sekaligus di atas surat negara? Dengan itu, masalah dengan mudahnya akan beres? Dan biarlah kemudian aku tega, masa bodoh pada perasaan Surti sahabatku, yang seharusnya batinnya terkoyak-koyak oleh kesalahan besarku ini? Kesalahan fatal di mana aku telah membelok ke tikungan curam nan gelap dengan tunangan sahabatku sendiri itu?
Entahlah. Entah. Aku bimbang seribu putaran. Sepertinya, malam ini, aku harus turun ke dapur. Coba meracik wedang kesukaanku sebagai obat kegalauan parahku hari ini.