"Selamat datang di lembaran penderitaan. Lembar luka lara. Lembar pada buku-buku cinta."
🍂🍃🍁
Ibu bilang, ladang usaha kami tengah mengalami seret disebabkan gangguan angin panas. Atau orang Jawa biasa menyebut sebagai santet. Guna-guna. Ataulah apa itu sebutannya. Aku tidak mau terlalu terpengaruh pada kekuatan alam lain yang mampu menyetir sedemikian rupa alam nyata. Yang terpenting, usaha kerasku terus menggurita, mengepakkan sayap-sayap pecel Bu Ayu. Tangan lincahku terus bergerak maju demi satu jenis makanan tradisional Jawa yang sangat aku cintai itu. Yakni pecel yang telah membuat hidupku jungkir balik.
Matahari di luar tengah teriknya, aku sengaja menarik tangan Satria pria pengirim gula merah tersebut ke dalam warung menuju meja makan nomor 7. Sebulat meja kayu beralaskan kaca tertata rapi dikelilingi empat kursi. Di tengah-tengahnya sebuah vas bunga berisi tiga lonjor sedap malam menghias sekaligus sebagai pencipta aroma.
"Duduk, Mas." Aku menjulurkan senyum lebar padanya. Di sela rambutnya yang sedikit berombak itu, tampak turun keringat bulat beberapa bulir kulihat. Begitu pula di dadanya, membentuk semacam bulatan basah. Maklum, dia pekerja lapangan. Setiap hari harus berjibaku dengan polusi udara dan sengatan matahari. Namun anehnya, aroma badan lelaki ini seperti tak dipengaruhi cuaca. Aromanya tetap semerbak menyegarkan.
"Wah, saya jadi merepotkan," tuturnya sambil menarik gagang kursi menjauhi tepi meja. Kakinya yang besar dan tinggi, kemudian menyilang kursi. Cara yang sama kulakukan. Vas keramik di depannya kusingkirkan. Dua tatap mata kami tegak lurus.
Menyerap aroma asli lelaki bagiku memberi sensasi unik. Sama seperti menghirup aroma bumbu pecel. Ada selera yang ingin segera kuselesaikan saat mendekati keduanya. Sama-sama membuatku bergairah.
"Mm, tunggu sebentar, yah. Aku siapkan dulu makanannya," pamitku. Aku kemudian berdiri, lantas memutar badan beranjak ke belakang.
Dua centong nasi rojo lele aku plating di atas sebuah piring keramik lebar. Sejumput tauge matang, aku letakkan di atas nasi pulen tersebut. Kemudian, sayuran hijau yang sudah direbus seperti daun bayam, kangkung, kacang panjang, daun singkong, dan kembang turi aku gabungkan semua. Kentalnya saus kacang khas Warung Pecel Bu Ayu yang beraroma gurih meluber hingga ke tepian piring.
Beberapa lauk andalan aku ikutkan. Telur bacem dan tempe bacem. Dua lembar rempeyek kacang, kutaruh di atas sayuran berbumbu. Sebagai garnis, aku memilih cacahan mentimun muda dan beberapa pucuk daun kemangi segar.
"Len, nanti tolong bawakan es teh special ke meja nomor 7, yah. Kasihkan ke Mas Satria." pintaku pada Leni.
Aku menjejakkan kaki dari tiap petak lantai hitam ke petak di depannya. Menenteng sepiring besar pecel lezat kepada sesosok pria ganteng berkulit sawo matang.
"Ayo, dimakan, Mas." Aku mengulurkan sajian segar tepat di antara pandangan dua matanya yang hitam bulat.
Menyusul kemudian, Leni mengantarkan es teh manis beraromakan melati. Dia taruh tepat di tengah jarak antara aku dan Satria.