"Tunas dosa makin menganak pinak. Berkembang, membesar, penderitaanku makin meledak."
🍂🍃🍁
Janin yang mulai bertunas di rongga perut, berusaha kusampingkan. Hari-hariku kini lebih kalem bersama hobi baru yang kutekuni. Jadi, kamarku yang berdinding putih susu, hingga mulai dari korden, sprei, selimut, meja, kursi, karpet, dan meja rias, semua serba putih itu aku tambahi beberapa vas berisi kembang sedap malam. Kala senja mulai dilipat malam, kamarku lebih layak disebut kamar Nyi Roro Kidul. Serba bunga. Harum sekali. Begitulah aku memenuhi sudut-sudut ruang pribadiku dengan bunga kemanten.
Tak cukup sampai di situ, selain beberapa toples kutancapi kembang semerbak, aku juga menggeletakkan beberapa nyala lilin beraroma terapi. Dua buah beraroma bunga mawar, satu buah lagi beraroma green tea, dan satunya lagi beraroma buah lemon. Campur-campur baunya. Aku menikmati hari tanpa beban.
Beberapa minggu pun berlalu tanpa ada kabar lagi dari Mas Iqbal, suamiku. Justru kabar episode asmaraku kini lebih didominasi oleh tokoh pria bernama Satria. Peribahasa mengatakan; pucuk dicinta ulam tiba. Gayung bersambut. Sepertinya, Satria mulai nyaman denganku. Apalagi, semenjak dia tahu kalau aku akan segera mengurus gugatan cerai pada Mas Iqbal, Satria malah tersenyum manggut-manggut seolah ikut mendukung pilihanku.
Seraya menikmati udara sejuk yang mengibas-ibas kain korden kamarku, aku menekan-nekan empuknya bakpao telo khas Lawang pemberian dari Satria tadi siang. Kukukus ulang supaya lebih empuk. Selain bakpao telo dari bahan tepung telo ungu itu, Satria juga melengkapi oleh-olehnya tadi dengan tambahan apem telo, getas telo, dan mie telo. Serba telo. Kapan-kapan aku mau nge-date khusus bersamanya sambil minum jus telo segar di sana.
"Terima kasih, yah, bakpao telonya endul banget!" ucapku melalui sambungan telepon.
"Sama-sama, Neng. Kapan-kapan aku belikan lagi." Suara Satria tegas tapi lembut.
"Mm, kapan-kapan kita ke Lawang, yah. Main ke sana langsung. Temani aku minum jus telo di sana, sama makan rawon di warung rawon Pasar Lawang. Eh, sama beli akar teh putih di Wonosari, yah."
"Assiap, Neng, he he." Seperti biasa, nadanya selalu ceria dan kadang-kadang dia bisa melucu juga.
"Mas?" ucapku berirama desah. Rada-rada mesra begitu setiap aku menjalin omongan dengan Satria.
Lelaki itu menjawab tegas. "Iya, Neng."
"Mm, aku nggak tahu perasaanku mengapa bisa seperti ini, yah."
"Perasaan yang seperti apa, Neng?"
"Yah, aku merasa nyaman saja bisa kenal dekat sama kamu, Mas."