Arwah Cinta Van der Ham

Ikhwanus Sobirin
Chapter #26

Valentine Berdarah

"Penghianatan menikam. Karma terus berjalan sampai entah kapan."

🍂🍃🍁

Selepas membagi-bagikan hadiah ke para karyawan, saatnya kini makan-makan!

"Ayo, kita makan sepuasnya!" ajakku bersemangat sambil mengambil piring. Anak-anak tanpa sungkan, ikut menyikat pilihan menu; nasi goreng yang aromanya gurih, sup buntut yang kuahnya pasti segar sekali, dan gado-gado dengan sayuran hijau dan kentang kukus.

Aku memilih menciduk seentong nasi hangat dari magicom yang semua telah disiapkan Bu Ani. Beberapa cidukan kuah sup aku tuang ke sebundar mangkok. Aku memilih dua potong iga sapi berlemak tebal.

Meja makan besar dikelilingi puluhan orang. Ritual makan besar pun dimulai.

"Mas, ambil yang banyak nasinya. Jangan takut kehabisan. Kalau nanti habis, diambilkan lagi sama Bu Ani," kataku pada Mas Satria yang terlihat merapat malu-malu.

"Iya, Neng. Tenang saja. Nanti saya habiskan semuanya, kok, he he."

Dan entah dari mana muasalnya, si Fendy, sengaja membawa speaker kecil masuk ke kerumunan. Memutar lagu-lagu dangdut.

"Waduh, Fendy! Jadi kayak kondangan saja. Ha ha," celetukku akrab pada mereka. Seolah tidak ada jarak lagi antara diriku dengan para karyawan.

"Iya, Neng. Lah, itu si Leni lagi kawin," sahut Fendy merespon guyonanku.

Api unggun di luar sana ditinggal sejenak. Kami berganti menghangati lambung bareng-bareng. Nasi goreng masih terasa hangat, pas sekali dimakan malam-malam begini. Aku sekalian mencicipi tiga sendok nasi goreng. Rasanya wah gurih sekali dengan aroma ikan asin.

🍁

Acara pesta makan pada malam yang penuh menggigilkan akhirnya buyar setelah semuanya sampai di garis kenyang. Aku kemudian berpesan pada semua karyawan untuk segera istirahat saja di kamar yang telah disediakan. Karena besok pagi buta bahkan sang surya belum nongol dari balik pegunungan Batu, semua sudah harus kembali bekerja. Yang shift pagi bisa langsung masuk warung. Begitu pula yang shift 2, tepat pukul 12 siang sudah harus siap di warung.

Berangsur pelan, meja makan mereka tinggalkan. Bu Ani dan rekannya mulai membereskan piring-piring kotor. Sebagian peserta gathering mengiyakan pesanku, menyelimuti diri dalam bekunya kota Batu. Kecuali si Niko. Cowok itu sepertinya memang asli play boy. Kulihat dia kembali ke tepi api unggun bermain gitar bersama si Devi. Mereka terlihat tanpa malu kucing saling melengketkan bahu masing-masing. Keduanya seperti orang pacaran. Padahal, si Devi baru saja menikah dengan lelaki asal Pasuruan, dan si Niko sendiri seorang pria muda beranak satu. 

Ngomong-ngomong dalam menilai manusia lain, aku jadi teringat akan sebuah pepatah. Gajah di depan mata tak terlihat, semut di seberang sungai tampak. Otomatis aku langsung merabahi perutku sendiri. Perut yang tengah menyimpan telur kotor. Rasa sesal dan beban jelas menyatu menjadi gumpalan pikiran. Menyesal, mengapa aku sebodoh itu melakukannya dengan Darmawan? Tunangannya asistenku sendiri. Lagi pula, aku juga telah bersuami. Mengapa pula suamiku juga tak bisa membuatku bahagia? Sehingga setan pun merasukiku, dan akhirnya aku menikmati sebuah rasa luar biasa setelah sekian lama aku tak merasakannya.

Ya Tuhan, aku bimbang harus bagaimana setelah ini.

Malam makin gulita. Suhu udara makin turun celciusnya. Resleting jaket makin kurapatkan. Inilah saatnya kuberikan cokelat Swiss itu kepadanya. Kepada pria pemasok gula merah, si Satria.

Aku mengambil cokelat itu dari dalam kamar. Tadi, aku sudah bilang ke dia, selepas santap makan, kuminta dia menunggu di taman belakang villa dekat ayunan sebelah kolam. Dia tersenyum sebagai tanda janji padaku.

Kini, waktu tepat menunjuk angka sepuluh malam. Kondisi sepi sengaja kumanfaatkan demi mendapat sudut waktu lebih privat. Supaya bisa ngobrol-ngobrol lebih intim dengannya tanpa ada yang mengganggu.

Sebelumnya, aku telah menyiapkan dua cangkir wedang jahe. Di luar dingin sekali pastinya. Namun, justru waktu makin larutlah yang aku idam-idamkan. Karena dari belakang villa inilah kerlap-kemerlip pemandangan kota Batu sungguh memanjakan. Sambil menyeruput minuman hangat, berjejer bersama pria tampan. Moment kencan indah yang tak akan pernah terlupakan.

Jahe kecil yang sudah kugeprek, kuseduh dengan air dari ketel. Lalu, kutuangi gula pasir secukupnya. Kutaruh sebentar di atas meja. Tak lupa, kuberi alas lepek dan kututup rapat. Nanti, jika Satria sudah duduk di taman, aku baru akan mendatanginya seraya membawa jahe hangat itu.

Cokelat asli Swiss berada di genggaman. Sepertinya, aku harus mengkroscek apakah Satria sudah berada di taman belakang.

Lihat selengkapnya